Covid-19 Dan Aktualisasi Peran Kaum Kartini

R.A Kartini menurut catatan sejarah telah melakukan “pemberontakan”, sosial-politik terhadap kolonial. Bukan dengan senjata dan diplomasi, tapi melalui upaya membangun kesadaran kaum perempuan agar melek dari gurita kebodohannya.


Politik emansipasinya setelah berlangsung satu abad lebih pun relatif menuai hasil: tak sedikit kaum perempuan dalam berbagai posisi menunjukkan kesetaraan.

Kini, sejalan dengan pendemik covid-19, apa yang harus dilakukan kaum kartini (perempuan)? Yang jelas, kebangkitan kesadaran sosial-politik Kartini sama sekali tak menjangkau problem serius covid-19 saat ini.

Namun demikian, kecerdasan dan atau pengetahuan yang terinspirasi dari Kartini haruslah mampu dan terpanggil untuk mencegah problem covid-19 saat ini.

Dalam kaitan itu- untuk beberapa lapisan, terutama dari paramedik perempuan – jelaslah telah melakukan keterlibatan yang begitu gesit dan luar biasa.

Bersama paramedik laki-laki, tak sedikit kaum Kartini saat ini tampil bak pahlawan. Bagaimana dengan kaum Kartini dari elemen lain seperti kalangan politisi, praktisi ekonomi, kalangan pendidik? Mereka semua tanpa kecuali, tampil ikut serta dalam mencegah persebaran covid-19. Tentu, dengan cara masing-masing sesuai bidangnya.

Sejalan dengan kebijakan stay at home, perempuan harus melakukan aksi, yang boleh jadi tak terpikirkan selama ini. Seperti kita ketahui, kebijakan social distancing dan atau stay at home, hal ini memaksa kegiatan sekolah pun dari rumah.

Maka, sang ibu rumah tangga (kaum perempuan) dipaksa harus mendampingi kegiatan belajar anak-anaknya berjarak jauh dan berteknologi komunikasi canggih. Jika ia gagap teknologi (gaptek), maka tentu menjadi persoalan tersendiri.

Karena itu, sang ibu terpanggil atau dengan suka-rela harus hadir dengan kapasitas yang relatif memadahi untuk dan atau atas nama kebutuhan

pendidikan anak-anaknya. Tak dapat disangkal, kesertaan perempuan dalam kaitan pendidikan ini sudah menunjukkan partisipasi aktifnya dalam dunia pendidikan, meski dirinya bukan seorang guru.

Perlu kita catat, apa yang dilakukan sang ibu terhadap anak-anaknya itu mencerminkan upaya keberlanjutan kualitas pendidikan anak-anak, yang sesungguhnya bisa fatal akibat ketiadaan kegiatan pendidikan secara langsung seperti biasanya.

Karena itu, partisipasi aktif kaum ibu yang mendampingi kegiatan belajar anak-anaknya merupakan penyelematan generasi dari proses dan atau potensi kebodohan.

Bagaimana dengan sektor lain? Peran kaum perempuan terutama dalam upaya membatasi penyebaran covid-19 juga cukup menonjol. Dengan kebijakan stay at home, kaum ibu yang atas nama rasa kasih-sayang terhadap anak-anak dan suaminya bisa melarang semua anggota rumahnya dari kegiatan di luar rumah.

Pelarangan itu tentu dengan memahamkan urgensi kebijakan stay at home. Bukan dalam pengertian pengekangan, tapi demi keselamatan anggota rumah tangganya.

Transformasi pengetahuan ini jelaslah cukup menggambarkan peran emansipasi perempuan dalam hal penyelamatan diri manusia, meski kepentingannya lebih “mikro”, yakni keluarga.

Yang perlu kita garis-bawahi, ketika hal itu dilakukan oleh seluruh elemen perempuan di rumahnya masing-masing, maka sejatinya, perempuan telah mendedikasikan diri untuk kepentingan keselamatan umat manusia dalam radius sangat luas, dari areal terbatas sampai tak terbatas: nasional.

Dedikasi ini, kemungkinan besar tak pernah dibaca sebagai kontribusi riil peran perempuan. Meski demikian, fakta sosial menunjukkan, bahwa perempuan telah berkontribusi nyata dalam menghadapi bencana covid-19. Dan itulah dedikasi bak srikandi, meski tak dilihat sebagai perjuangan. Ironis memang, tapi itulah peranan perempuan yang layak kita catat sebagai bagian dari sebuah perjuangan.

Catatan perjuangan perempuan semakin menguat jika kita lirik lebih khusus, terutama dunia rumah tangga. Dengan pemberlakuan kebijakan stay at home, para suami menyaksikan kegiatan rutin istrinya yang begitu overload kegiatannya dan tanpa akhir, kecuali istirahat tidur.

Kesaksian yang terlihat langsung sangatlah memungkinkan muncul kesadaran untuk menghargai peran sang istri. Dari kesadaran ini pula, muncul empati dan akhirnya menghargai demikian hormat terhadap peran sang ibu.

Akhirnya, kita bisa menggaris-bawahi bahwa di tengah pandemik covid-19, di sana kita saksikan peran perempuan. Di satu sisi, mereka yang memang memiliki profesi sebagai paramedis nyata ikut berjuang dengan penuh resiko dalam menghadapi covid-19.

Di sisi lain, sebagai komponen lain, juga ikut serta mendedikasikan kemampuan dan kepeduliannya untuk misi penyelamatan umat manusia dengan cara ikut mengefektifkan kebijakan social distancing.

Meski lebih terpanggil untuk kepentingan keluarganya, namun kesadaran seluruh komponen perempuan dalam menerapkan kebijakan penyelamatan itu sesungguhnya merupakan andil besar bagi kepentingan negara.

Dan yang tak bisa dipungkiri adalah peran edukatif kaum ibu saat ikut mendampingi kepentingan belajar putera-puterinya untuk kepentingan belajar.

Hal ini harus dilihat sebagai upaya penyelamatan kecerdasan anak-anak, yang tidak boleh tertinggal hanya karena wabah covid-19. Jika tidak terjadi partisipasi kaum ibu, maka kita bisa membayangkan potensi lost of generation dalam kaitan kualitas kecerdasan.

Peran transformatif kaum ibu dalam hal pendidikan, meski dirinya bukan sebagai guru formal tapi andilnya bagi negara demikian besar. Di sanalah kita mendapatkan korelasi positif yang tak terduga mengapa Kartini membangkitkan kesadaran kaum ibu agar menghilangkan kebodohan.

Memang, R.A Kartini tak tahu bahkan pastinya tak membayangkan sedikitpun covid-19. Tapi, ketika setiap perempuan harus melek secara edukatif, maka menjadi sangat relevan dan krusial maknanya ketika anak-anak – akibat diliburkan sekian lama sekolah dan atau kuliahnya harus tetap belajar dan terus belajar.

Itulah aktualisasi kaum perempuan yang harus berperan konstruktif akibat covid-19. Di sana pula, kita menerawang jauh sembari menghayal sosok Kartini yang terpanggil untuk membangun perempuan harus cerdas (terhilang dari kebodohan). Luar biasa, sebuah sikap emansipatif, yang patut perempuan perjuangkan sesuai dengan tuntutan zaman.


Oleh: Fauzun Nihayah
Penulis adalah Anggota DPR Papua dari Fraksi NasDem