Merauke, Papua Selatan – Sebuah video yang memperlihatkan pihak PT. Dongin Prabawa membuka palang di kawasan operasionalnya, Dusun Maam, Distrik Maam, Kabupaten Merauke, menuai perhatian luas setelah beredar di media sosial.
- TSE GROUP DISTRIBUSIKAN BANTUAN BAHAN POKOK MAKANAN JELANG PASKAH
- Peringati Hari Pangan Sedunia 2020, SKK Migas -KKKS Papua Barat Gelar Aksi PPM Lingkungan
- TSE GROUP KOMITMEN BANGUN HUBUNGAN YANG HARMONISD ENGAN MASYARAKAT
Baca Juga
Video berdurasi singkat yang diunggah oleh akun TikTok bernama Maria Duanulik itu disertai narasi yang menuding perusahaan tidak menghargai adat masyarakat Malind. Tayangan tersebut segera menjadi viral dan mengundang beragam respons publik. Namun, di balik potongan gambar tersebut, tersimpan rangkaian peristiwa yang lebih kompleks dan bermula dari konflik internal salah satu marga setempat.
Kronologi kejadian bermula dari sebuah kesepakatan yang ditandatangani pada 11 Maret 2023 oleh perwakilan 17 marga di wilayah Maam bersama PT. Dongin Prabawa. Dalam perjanjian tersebut, seluruh marga menyatakan komitmennya untuk tidak lagi melakukan aksi pemalangan terhadap aktivitas perusahaan sebagai bentuk dukungan terhadap iklim investasi dan stabilitas sosial. Salah satu tokoh yang ikut menandatangani adalah Simon Kumbu Dinaulik, Ketua Marga Dinaulik yang diakui secara adat.
Namun suasana damai itu terganggu oleh dinamika internal Marga Dinaulik. Mariana Dinaulik, yang masih merupakan bagian dari marga tersebut, menyuarakan keinginannya untuk menggantikan Simon sebagai ketua marga. Namun, dalam struktur adat Malind yang menganut sistem patriarki, kepemimpinan marga hanya dapat dijabat oleh laki-laki. Aspirasi tersebut tidak diterima oleh komunitas adat. Kekecewaan yang timbul dari penolakan itu kemudian diarahkan secara keliru kepada pihak perusahaan.
Mariana lantas mendatangi PT. Dongin Prabawa dan mengajukan permintaan agar dirinya diakui sebagai ketua marga yang sah. Namun perusahaan menolak dengan tegas namun tetap menghormati, karena persoalan kepemimpinan marga merupakan urusan internal masyarakat adat yang berada di luar kewenangan perusahaan. PT. Dongin Prabawa menegaskan bahwa pihaknya hanya berpegang pada kesepakatan formal yang telah disepakati bersama, tanpa berpihak kepada siapa pun dalam konflik internal adat tersebut.
Sikap netral perusahaan kemudian ditafsirkan oleh pihak Mariana sebagai bentuk keberpihakan kepada Simon. Merasa tidak mendapatkan pengakuan, Mariana melakukan aksi pemalangan terhadap akses jalan menuju Pabrik Kelapa Sawit dan Logpond perusahaan. Aksi ini berlangsung selama empat hari dan dilakukan secara pribadi, tidak mewakili masyarakat adat secara keseluruhan, serta bertentangan dengan komitmen bersama yang telah ditandatangani oleh 17 marga. Dalam aksinya, Mariana turut didampingi oleh seorang pengacara.
Pihak perusahaan, menyadari dampak dari terganggunya operasional, segera berkoordinasi dengan tokoh-tokoh adat serta mengadakan dialog dengan pihak pendamping hukum dari Mariana. Dari hasil dialog tersebut terungkap bahwa tindakan pemalangan tidak memiliki dasar hukum yang sah, baik secara adat maupun formal. Berdasarkan kesepakatan dengan tokoh-tokoh adat setempat, perusahaan mengambil langkah untuk membuka palang agar aktivitas dapat kembali berjalan secara normal.
Momen pembukaan palang tersebut direkam dan diunggah oleh Maria Duanulik ke media sosial. Video ini kemudian viral dan memicu polemik publik. Tayangan tersebut juga mendapat perhatian dari Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Selatan. Dalam pernyataan resminya, MRP Papua Selatan menyampaikan keprihatinan atas tindakan pencabutan palang oleh pihak perusahaan. Lembaga representatif kultur masyarakat adat tersebut menyampaikan pandangan bahwa dalam tatanan adat Malind, sasi atau palang hanya dapat dicabut oleh masyarakat adat itu sendiri. MRP Papua Selatan juga mengingatkan agar peristiwa serupa tidak terus berulang serta mendorong pemerintah daerah dan pemerintah provinsi untuk lebih proaktif menjaga harmoni sosial serta penghormatan terhadap mekanisme adat di wilayah tersebut.
Menindaklanjuti polemik tersebut, MRP Papua Selatan mengundang manajemen PT. Dongin Prabawa untuk memberikan klarifikasi. Undangan tersebut dipenuhi dengan kehadiran langsung pihak perusahaan di Kantor MRP pada Kamis 20 Maret 2025. Dalam pertemuan tersebut, perusahaan menyampaikan penjelasan secara terbuka dan terperinci mengenai kronologis kejadian. Perusahaan juga menegaskan bahwa seluruh persoalan yang terjadi berakar dari konflik internal dalam Marga Dinaulik yang tidak memiliki keterkaitan langsung dengan kegiatan operasional perusahaan.
Pihak perusahaan turut menanggapi isu yang berkembang terkait pendidikan di Maam. Sebelumnya, MRP menerima pengaduan bahwa anak-anak di wilayah tersebut harus menempuh pendidikan di luar kampung karena SD YPK tidak difungsikan secara optimal. Menanggapi hal ini, PT. Dongin Prabawa menyampaikan bahwa informasi tersebut tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Perusahaan memastikan bahwa SD YPK Maam masih beroperasi seperti biasa. Bahkan, untuk memperluas akses pendidikan, PT. Dongin Prabawa telah membangun SD Negeri 1 Atap Maam dan tengah merancang pendirian SMK Negeri agar anak-anak di Distrik Maam dapat menikmati pendidikan lengkap dari jenjang SD hingga SMK tanpa harus meninggalkan kampung halaman.
Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa persoalan internal adat hendaknya diselesaikan dalam ruang adat, tanpa menyeret pihak lain yang tidak berkepentingan secara langsung. PT. Dongin Prabawa tetap berkomitmen menjalankan perannya sesuai koridor hukum dan menghormati nilai-nilai adat yang hidup dalam masyarakat. Diperlukan peran aktif dari pemerintah serta penguatan lembaga-lembaga adat untuk memastikan bahwa dinamika internal tidak berkembang menjadi konflik terbuka yang dapat mengganggu ketertiban sosial dan masa depan generasi muda di Tanah Papua.
- Bhakti Sosial di Dua Kampung Perbatasan RI-PNG, Polres Merauke Bagikan Ratusan KG Beras
- Bakti Sosial Bhayangkari Peduli di 2 Kampung Wilayah Merauke
- Prostitusi Online Anak Bawah Umur di Menteng Terbongkar, 15 Orang Ditangkap