MK Kembali Putuskan Presidential Threshold Konstitusional

Gedung Mahkamah Konstitusi/Net
Gedung Mahkamah Konstitusi/Net

Uji materiil atau judicial review aturan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang masuk ke Mahkamah Konstitusi (MK) kembali diputuskan ditolak.


Dari banyak gugatan terhadap aturan yang termuat di Pasal 222 UU 7/2017 ini, permohonan yang diajukan wiraswasta dan juga ibu rumah tangga (IRT) juga ikut ditolak MK.

Keputusan terhadap perkara Nomor 13/PUU-XX/2022 ini digelar dalam Sidang Pleno yang digelar di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, diberitakan Rabu kemarin (20/4).

Sejumlah wiraswasta dan ibu rumah tangga (IRT) yang bertindak sebagai pemohon mendalilkan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.

Namun dalam pertimbangan Mahkamah, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjelaskan bahwa pihaknya menilai kualifikasi para pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia yang mempunyai hak memilih dalam pengujian Pasal 222 UU Pemilu.

Kata Arief, pertimbangan itu dilakukan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-XVIII/2020 bertanggal 14 Januari 2021; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021 bertanggal 24 Februari 2022; dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 8/PUUXX/2022, bertanggal 29 Maret 2022.

Dari situ, Mahkamah berpendapat adanya aturan main terkait persyaratan ambang batas pencalonan presiden yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh para Pemohon telah diberlakukan sebelum pelaksanaan Pemilu tahun 2019.

Dengan analogi demikian, Arief menyatakan bahwa anggapan adanya kerugian konstitusional yang dimohonkan pemohon, karena terhambatnya hak untuk memilih (right to vote) yang dialami oleh para Pemohon menjadi tidak beralasan menurut hukum.

Selain itu, Arief juga menegaskan bahwa kerugian yang didalilkan pemohon tersebut sama sekali tidak membatasi jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang akan mengikuti Pilpres.

Maka dari itu, Mahkamah berkesimpulan permasalahan jumlah pasangan calon yang memenuhi syarat untuk mengikuti pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tidaklah ditentukan oleh norma yang diajukan para Pemohon. Sehingga hal demikian merupakan masalah implementasi atas norma dimaksud yang sangat tergantung pada dinamika sosial dan politik yang berkembang dalam masyarakat yang termanifestasikan dalam keinginan partai politik.

Terlebih lagi, tambah Arief, norma yang diajukan oleh para Pemohon tidak menghalangi para Pemohon untuk bebas memberikan suaranya kepada pasangan calon presiden dan wakil presiden manapun yang telah memenuhi syarat.

"Dengan demikian, anggapan potensi kerugian yang diuraikan oleh para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo," tandas Arief.