Go Ahead ACT

Ilustrasi kegiatan Aksi Cepat Tanggap (ACT)/Net
Ilustrasi kegiatan Aksi Cepat Tanggap (ACT)/Net

PRAHARA menimpa Aksi Cepat Tanggap (ACT). Hal biasa sebagai dinamika sebuah lembaga atau organisasi. Jatuh bangun, pasang surut, hadapi satu masalah ke masalah lain. Semua ini diperlukan untuk mematangkan dan mendewasakan organisasi.


Rabu, 6 Juli 2022, izin ACT untuk crowdfunding dicabut oleh Kemensos, dan 60 rekening di 33 bank dibekukan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Artinya, ACT tidak bisa lagi bergerak. Input dan outputnya ditutup. Sampai kapan? Semua berharap ini tidak akan lama. Segera izin dibuka kembali, sehingga program-program ACT dalam membantu pemerintah mengatasi kemiskinan, menolong korban bencana maupun korban konflik tetap bisa dijalankan.

Tidak kurang dari 281.000 kali ACT dengan 78 cabangnya melakukan aksi sosial di 47 negara. Ini prestasi yang harus juga jadi pertimbangan.

Perlu diberi kesempatan bagi pihak berwenang untuk audit dan melakukan investigasi yang diperlukan. Semakin cepat, ini akan semakin baik. Supaya semua klir dan segera beroperasi kembali.

Apa yang menimpa ACT jangan disikapi terlalu berlebihan. Perlu sikap objektif dan bijak. Hindari semua bentuk opini yang keluar dari objek dan fokus persoalan. Tidak perlu emosional, apalagi jika anda tidak punya data dan informasi memadai.

Ibarat rumah, ada genteng rusak, itu biasa. Panas dan hujan terkadang membuat genteng itu rapuh. Tak ada yang abadi, dan tak ada juga yang sempurna. Kalau genteng retak, ganti dan perbaiki. Kalau cat kusam warna dan terkelupas, cat ulang.

Jangan robohkan rumah, biaya terlalu besar dan belum tentu bisa membangun kembali.

Begitulah dengan lembaga, termasuk ACT. Januari awal tahun ini, ACT sudah mulai melakukan renovasi rumah. Ada penyesuaian-penyesuaian. ACT telah melakukan restrukturisasi.

Wajar, setelah 17 tahun perlu melakukan rekonstruksi organisasi. Di antaranya ACT melakukan perbaikan manajemen, efisiensi karyawan dan anggaran operasional, serta rekruitmen SDM dengan skill yang dibutuhkan.

Kita ingin ACT tetap eksis dan terus menebar manfaat buat umat manusia. Ada ratusan lembaga model ACT di Indonesia. Ketika kita tidak bisa terlibat, setidaknya tidak ikut memperkeruh suasana.

Hari ini prahara sedang menimpa ACT, boleh jadi besok menimpa yang lain. Perlu saling menguatkan.

Memang, setiap lembaga berbasis sosial dan keagamaan dituntut dengan standar moral dan integritas yang sangat tinggi. Bahkan kadang terlalu tinggi dan tidak rasional. Harus ikhlas terima gaji misalnya, meski pas-pasan atau bahkan kurang untuk kebutuhan normal bagi keluarga.

Dianggap makruh punya rumah besar, haram pakai mobil mewah, pamali take home pay tinggi, dan sejenisnya. Salah dikit, ramai-ramai dihakimi atas nama pertanggungjawaban sosial dan integritas agama. Semoga mereka yang berjuang di lembaga-lembaga sosial berbasis agama kuat mentalnya.

Apa yang terjadi di ACT mesti pertama, menjadi pelajaran bersama untuk bertindak lebih cermat dan penuh pertimbangan dalam mengelola dana amanah. Sebab, lembaga sosial akan selalu melibatkan publik untuk ikut aktif memantau semua kinerjanya. Ini konsekuensi logis yang harus diterima.

Kedua, publik tidak hanya dituntut untuk melihatnya secara objektif, tapi juga adil, arif dan bijak. Penilaiannya mesti berbasis pada banyak aspek yang lebih komprehensif. Tidak sepotong-sepotong yang justru bisa menggiring terciptanya public distrust. Ini malah jadi kontra-produktif.

Ketiga, support publik dibutuhkan untuk mendorong lembaga-lembaga seperti ACT tetap eksis sesuai aturan dan harapan publik, agar semakin besar kontribusinya kepada bangsa dan dunia.