Penjabat Gubernur pada DOB Papua, Dalam Perspektif LMA Malind Anim Ha

Thimotius N Gedy Mahuze LMA Malind Kabupaten Merauke
Thimotius N Gedy Mahuze LMA Malind Kabupaten Merauke

Dilantiknya Penjabat Gubernur ini adalah amanat Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, setelah memperhatikan Pasal 19 dan 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, bila Gubernur dan Wakil Gubernur berakhir masa jabatan intinya tidak boleh sedetik pun ada kekosongan jabatan.

Begitu pun Penjabat Kepala Daerah / Gubernur pun akandiadakan pada Daerah Otonom Baru (Propvinsi Baru). Intinya Penjabat Gubenur  bertugas mempersiapkan dan menjalankan pemerintahan sampai terpilihnya Gubernur Definitif. Karena Penjabat Kepala Daerah / Gubernur merupakan operasionalisasi delegasi kekuasaan Presiden. Sehingga Penjabat harus memenuhi persyaratan administrasi dan harus disetujui oleh Presiden.

Sebutan Penjabat Kepala Daerah / Gubernur ini juga sudah diatur dalam Pasal 201 Ayat (10) yang berbunyi Penjabat Gubernur berasal dari jabatan Pimpinan Tinggi Madya (Eselon I a) jadi bahasa hukumnya Penjabat Kepala Daerah/ Penjabat Gubernur bukan sebutan Karateker.

 

Persyaratan ini merujuk Pasal 19 ayat 1 huruf b, disebutkan "Jabatan Pimpinan Tinggi Madya meliputi Sekretaris Jenderal Kementerian, Sekretaris Kementerian, Sekretaris Utama, Sekretaris Jenderal Kesekretariatan Lembaga Negara, Sekretaris Jenderal Lembaga Non Struktural, Direktur Jenderal, Deputi, Inspektur Jenderal, Inspektur Utama, Kepala Badan Staf Ahli Menteri, Kepala Kesekretariatan Presiden, Kepala Kesekretariatan Wakil Presiden, Sekretaris Militer Presiden, Kepala Kesekretariatan Dewan Pertimbangan Presiden, Sekda Provinsi dan Jabatan lain yang setara".

Dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 Tahun 2002 tentang Perubahan PP Nomor 15 Tahun 2001 mengenai pengalihan status TNI/Polri menjadi PNS juga diatur mengenai istilah Penjabat Gubernur. Pada Pasal 9 tersebut terdapat beberapa jabaran padan Kementerian/Lembaga, dimana TNI/Polri tidak perlu alih status menjadi PNS. Aturan tersebut bersifat pengecualiaan. Jadi TNI/POLRI pun dapat mengisi Jabatan PNS.

Sejak Keppres 9/1985, Rektor PTN termasuk Pejabat Eselon 1a. Satu kelompok dengan Sekjen, Dirjen, Irjen dan Kepala Badan di Kementerian. Dekan, Pembantu Rektor dan Ketua Lembaga di PTN setara dengan Staf Ahli Menteri di Eselon 1b. Sedangkan Pembantu Dekan, Sekretaris Lembaga dan Kepala Pusat pada PTN, masuk Eselon 2a setara dengan Kepala Biro, Inspektur dan Direktur di Kementerian.

Namun dengan terbitnya Keppres 199/1998 menyatakan bahwa Dosen sebagai Tenaga Fungsional memiliki Tugas Utama adalah Tri Dharma Perguruan Tinggi. Selain tugas utama tersebut, dosen DAPAT diberi TUGAS TAMBAHAN sebagai Rektor dan jabatan-jabatan lain tersebut. Pemberian tugas tambahan ini tidak termasuk Jabatan Struktural. Maka sejak itu, tidak ada lagi eselon di PTN.

Sehingga bila hari ini ada wacana tentang pengusulan Rektor Perguruan Tinggi Negeri sebagai Penjabat Gubernur, yang menjadi pertanyaan Peraturan Per UU yang mana yang dipakai sebagai rujukan.

Lagian kita hari ini krisis SDM di bidang Kependidikan khususnya Dosen / Ilmuan sebijaknya lebih baik   Sang Rektor calon Guru Besar pada Ilmu nya, lebih baik fokus dan konsentrasi pada Penelitian, Menulis Buku atau buatlah sesuatu yang bermanfaat bagi orang banyak dengan berbasis keilmuannya.

Kita berharap Penjabat Gubernur adalah orang Ahli Pada Bidang Pemerintahan atau Kepamongan, Sosok Pj. Gubernur ini memiliki karier jelas dalam pemerintahan karena ini Daerah Otonomi Baru, bukan Pj Gubernur yang mengisi kekosongan jabatan akibat berakhir masa jabatan. DOB butuh orang yang benar-benar mampu dan kuasai Bidang Penerintahan.