Idul Fitri Dan Semangat Merayakan Perdamaian

Ilustrasi/net
Ilustrasi/net

Ramadhan dalam makna yang hakiki adalah bulan perdamaian karena madrasah ramadhan mengajarkan kepada kita untuk membangun kohesi sosial dengan cara merenungi, memahami dan merasakan penderitaan orang lain selama sebulan lamanya. Karena bulan Ramadhan adalah bulan yang sangat penting sekali untuk membangun virtuous society (masyarakat yang baik).


Madrasah Ramadhan menjalarkan ruh dan energi yang begitu indah. Hati kita menjadi lembut; tidak ada amarah, dengki dan ghibah terhadap sesama. Madrasah ramadhan mengajarkan kepada kita kesalehan sosial; mengajarkan sedekah, infak, zakat dan mengajarkan kita menjadi hamba Allah yang sakhie (dermawan). Madrasah ramadhan mengajarkan kepada kita kebahagiaan yang indah tatkala kita  senang melihat saudara-saudara kita bahagia. Itulah nilai perdamaian yang hakiki. Nilai perdamaian yang dibangun karena ketulusan, cinta dan spiritualitas kepada Allah Swt. 

Bagi para pekerja dan pecinta perdamaian madrasah Ramadhan yang berakhir 1 Syawal dengan tibanya Iedul Fitr bermakna perayaan kesucian atau kebersihan hati sebagai fondasi personal untuk membangun komunitas masyarakat penuh cinta dan perdamaian. Pada 1  Syawal umat Islam diseluruh dunia memasuki satu momentum luar biasa yang disebut Idul Fitri. Artinya, kembali ke kondisi batin yang suci setelah menempanya selama sebulan lamanya.

Dosa-dosa batin dalam bentuk suka merusak tatanan sosial dengan cara mengadu domba sesama, menebar konflik, menyemaikan kekerasan dan menumbalkan jiwa manusia untuk kepentingan pribadi atau politik semoga semuanya sudah lebar dan semua kita kembali fitrah (suci). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘lebar’ bermakna bersih, yang senafas dengan kata fitri. Berlebaran berarti merayakan kebersihan. Madrasah ramadhan mengajarkan manusia menahan amarah, ego, kebencian, serta mengajarkan kepada kita untuk mempunyai sifat empati, kejujuran, dan nilai-nilai positif lainnya. 

Nabi Muhammad saw bersabda: 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: إذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ يَوْمَئِذٍ وَلَا يَصْخَبْ، فَإِنْ شَاتَمَهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ: إنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ،  (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ) 

"jika sudah tiba hari puasa kalian, maka jangan ada salah satu dari kalian yang berkata kotor dan membuat keributan. Jika ada orang lain yang mencacinya atau membunuhnya, sampaikan pada orang itu bahwa aku sedang berpuasa," (HR. Muttafaq 'alaih).

Hadits di atas menjelaskan hikmah berpuasa, yaitu melatih jiwa untuk bersih sifat buruk, seperti kebencian, keributan, konflik, permusuhan, apalagi peperangan. Adapaun perang Badar yang pernah Rasulullah Saw dan para sahabat lakukan pada 17 ramadhan tahun kedua hijrah itu merupakan upaya rasulullah dan para sahabat untuk mempertahankan diri sebagaimana hal itu termaktu dalam kitab Zadul Ma’ad karya Ibnu Qayim al-Jauziyah. Umat Islam dengan 317 tentaranya kala itu diserang oleh pasukan kafir Qurays dengan kekuatan pasukan tiga kali lipat. 

Beberapa alasan perang Badar di bulan Ramadhah antara lain; umat muslim diusir dari tanah kelahiran mereka Makkah. Setelah Hijrah ke Madinah, umat musim masih tetap dizalimi, seperti barang dagangan mereka yang dirampok. Dalam kondisi umat muslim dizalimi, maka bertahan adalah kewajiban, sekalipun harus dilalui dengan menggelar peperangan. Sebaliknya, dalam kondisi aman dan damai, peperangan dilarang.

Misalnya, dalam ayat 193 surat al-Baqarah, Allah swt mendorong umat muslim berperang sampai tidak ada fitnah dan permusuhan lagi kepada umat muslim. Tetapi, bila orang kafir berhenti memfitnah dan memusuhi, maka tidak beloh ada lagi permusuhan.

Agama di seluruh dunia, khususnya Islam, mengajarkan perdamaian dunia dan anti-peperangan. Karena itulah, para agamawan sebagai penyebar perdamaian dan anti-peperangan dilindungi dalam aturan Hukum Humaniter Internasional.  Misalnya, pada Aturan ke-3, Hukum Humaniter Internasional menyebutkan: All ll members of the armed forces of a party to the conflict are combatants, except medical and religious personel. Agamawan dan dokter bukan kombatan.

Dalam rangka memperkuat karakteristik pecinta damai, Islam mengajarkan umatnya untuk berpuasa. Puasa yang berhasil adalah puasanya orang-orang yang cinta damai, mulai dari berdamai dengan dirinya sendiri, dengan keluarga dan lingkungannya, dengan bangsa dan negaranya, sampai berdamai dengan dunia.

Muslim yang berhasil menjalankan puasa tidak akan memiliki kebencian. Sebab, berpuasa dengan benar akan melahirkan jiwa yang mampu menahan diri dari berkata kotor dan bertindak yang mengundang keributan, baik dalam kondisi terhina maupun terancam perang.

Artinya, lebaran bukan saja merayakan kebersihan jiwa setelah berpuasa, tetapi lebaran bagi seorang muslim adalah merayakan kebersihan hati dari kebencian, permusuhan, dan konflik sehingga mampu menciptakan pribadi yang damai. Sehingga, merayakan Iedul Fitri berarti merayakan semangat perdamaian sebagai hasil dari tarbiyah madrasah ramadhan.

Hari Raya Iedul Fitri dan perdamaian adalah dua keniscayaan yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Ibnu Katsir, mufasir dan ulama kenamaan dari Busra, Suriah. Seorang muslim harus mampu menyemaikan pesan perdamaian yang termaktub di dalam al-Quran Surah al-Baqarah : 208. Menjadi seorang muslim yang kaafah adalah menjadi muslim yang cinta pada perdamaian. Seorang muslim yang merayakan kebersihan hati bak seorang bayi polos dipelukan bundanya. Tak ada setitikpun ia memiliki iri dan dengki. Hatinya hanya dipenuhi dengan sifat-sifat rokhmani yang selalu   merayakan Iedul Fitri sebagai perayaan perdamaian yang abadi.

Penulis: "Mujahidin Nur, Direktur Eksekutif Peace Literacy Institute Indonesia"