Pembubaran ormas tanpa melalui putusan pengadilan adalah pelanggaran hak asasi manusia. Atas alasan itu, peneliti senior Imparsial, Al Araf berharap UU 16/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (ormas) direvisi.
- Terungkap, Haris Pertama Menolak Undangan Tim 9 Penyatuan KNPI
- 5 Alasan, Ikatan Keluarga Toraja Memilih Paulus Waterpauw Jadi Gubernur Papua
- Tiga Anggota MRP Papua Selatan Tolak Hasil Pleno Terkait Keterangan Keaslian Orang Papua
Baca Juga
"Menurut saya pembubaran ormas oleh pemerintah dalam negara hukum demokratis adalah satu bentuk pelanggaran prinsipil dari konstitusi dan hak asasi manusia," ujarnya dalam acara peluncuran buku "Pembubaran Ormas" dan Diskusi Publik Problematika Pembubaran Ormas di Jakarta, Rabu (30/3).
Al Araf mengakui bahwa dalam hak asasi manusia, kebebasan berserikat bukan hak yang sifatnya non derogable rights atau tidak dibatasi. Namun pembatasan hak asasi manusia tetap harus jelas dan terukur.
Dia mengurai bahwa pada 2013 sebenarnya sudah ada UU Ormas yang lebih baik. UU ini, merupakan koreksi terhadap UU 8/1985 yang juga memberikan kewenangan pemerintah untuk membubarkan ormas.
Pembuatan UU kala itu juga turut melibatkan ormas seperti NU dan Muhammadiyah serta kelompok mahasiswa.
"Bahwa pembubaran ormas hanya boleh melalui pengadilan bagi mereka yang berbadan hukum," ungkap Al Araf dikutip dari Kantor Berita RMOL, Kamis (31/3)
Namun, pemerintah akhirnya mengeluarkan Perppu 2/2017 yang mengembalikan kewenangan pembubaran ormas kepada pemerintah. Buntutnya, ormas HTI dan FPI menjadi korban pembubaran penerapan UU itu.
"Pada era tersebut tidak bisa dilepaskan dari konteks politik Pilkada Jakarta dan mobilitas HTI dalam kontestasi tersebut. Yang sebenarnya kalau HTI tidak ikut-ikutan demo 212, mungkin tidak ikut kena korban pembubaran juga," tutur Al Araf.
Untuk itu, dia berharap UU Ormas segera direvisi agar tidak digunakan oleh kelompok yang berkuasa untuk membubarkan ormas yang menjadi oposisi.
Turut hadir sebagai penanggap dalam acara ini antara lain, Busro Muqodas (PP Muhammadiyah), Arsul Sani (Wakil Ketua MPR RI), dan Usman Hamid (Direktur Amnesty Internasional).
- Kementerian Sosial Cabut Izin ACT
- Polda Papua Kantongi Identitas Anggota KKB Pelaku Pembantaian Satu Keluarga TNI di Yalimo
- KPU Mappi Musnahkan Ribuan Surat Suara Lebih dan Rusak