Sidang Pleno pembahasan tata tertib Muktamar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) diwarnai ketegangan akibat silang pendapat diantara peserta.
- Dipukuli Orang Tak Dikenal, Haris Pertama Duga Sudah Diikuti Sejak dari Rumah
- Nasdem Tak Masuk Kabinet Prabowo-Gibran
- Densus Tangkap 7 Terduga Teroris JI dan ISIS di Jakarta, Tangerang Hingga Kepri
Baca Juga
Sidang Pleno yang dipimpin Ketua Steering Committee M. Nuh dan Sekretaris Asrorun Ni’am Sholeh, sedikit tegahg saat membahas pasal per pasal pada tata tertib.
Sidang tersebut dilangsungkan di Gedung Serbaguna Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan, Bandar Lampung, Rabu sore (22/12).
Perdebatan berawal saat M. Nuh menanyakan persetujuan untuk Pasal 3 tentang kuorum di Tata Tertib. Pasal tersebut menyebutkan;
Muktamar dianggap sah penyelenggaraannya, jika dihadiri sedikitnya 2/3 (dua per tiga) dari jumlah pengurus wilayah, pengurus cabang, pengurus cabang Istimewa NU yang sah.
Kemudian, pengurus wilayah, pengurus cabang dan pengurus cabang istimewa yang sah ditetapkan dalam surat keputusan pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Adalah muktamirin atau peserta Muktamar dari Gorontalo yang mempertanyakan pasal tersebut. Terutama, bagaimana teknis menetapkan mana pengurus yang sah dan tidak.
“Bagaimana menentukan yang sah dan tidak, ada di Gorontalo sudah mudyawarah cabang tapi tidak dapat SK, bacakan saja semua yang hadir,” kata Muktamirin asal Gorontalo ini dengan nada tinggi.
Setelah dia menyampaikan pendpaay, sontak suasana di ruang Serba Guna UIN Raden Intan Bandar Lampung semakin tegang.
Untuk meredam ketegangan, M. Nuh yang duduk di meja pimpinan langsung mengajak seluruh Muktamirin di ruang sidang untuk bersalawat.
Lanjut saja sholawatnya, ayo tenangkan hati kita,” ujar pimpinan sidang M Nuh.
Perlahan dengan lantunan shalawat, ketegangan mereda dan sidang di skors untuk menjalankan ibadah shalat dan makan.
- Masyarakat Diminta Ikut Peran Serta Mengawal Pilkada Boven Digoel
- DPR Papua Temui Para Demonstran Tolak DOB Yang Berjalan Aman Dan Lancar
- Negara Lain Tunda Pemilu Maksimal 75 Hari sedangkan Indonesia Dua Tahun, Jokowi Mau Apa?