Prof Dr Olaf Schumann : Menjaga Kerukunan Umat Beragama Sebagai Upaya Menjaga Kehormatan Manusia

Mujahidin Nur Direktur Eksekutif Peace Literacy Institute Indonesia /ist.net
Mujahidin Nur Direktur Eksekutif Peace Literacy Institute Indonesia /ist.net

Beberapa hari yang lalu saya bertolak ke Bali bersama tIm Pecae Literacy Institute Indonesia dan Wakil ketua PMK HKBP, Pdt James E Simorangkir.


Di Bali kami melakukan pertemuan dengan Prof Dr Olaf Herbert Schumann pada hari Senin pukul 11.00 WITA (Waktu Bali). Namun, saya bersama tim sudah berada di Bali pada hari minggu untuk mempersiapkan paper work (kertas kerja) terkait program Peace Literacy di Papua dan beberapa wilayah di Indonesia yang akan kami diskusikan dengan Prof Olaf Schumann.

Beberapa jam sebelum pertemuan kami sudah berada di Gedung MBM  milik GKPB (Greja Kristen Protestan Bali) lokasi dimana Prof Olaf meminta kami untuk bertemu. Sesudah menunggu sekitar dua jam datanglah seorang laki-laki berusia senja sekira umur 80an dengan tongkat di tangannya, dialah Olaf Schumann, seorang teolog terkenal dan pengajar teologi di berbagai negara ; Malaysia, Mesir, Libanon, Jordan dan termasuk Indonesia berjalan dengan langkah pelan menyapa kami dan meminta maaf karena telat.

Saya pun menggandeng tanganya menuju hotel Dhyana Pura sebuah hotel sederhana di area Gedung MBM dan kami pun berdiskusi di lobi hotel membahas Paper Work yang sebelumnya sudah saya kirim melalui email.

Sudah lama saya tertarik dengan pemikiran keagamaan Olaf Schumann seorang Islamolog dan antropolog agama yang sangat kesohor kelahiran Dresden, Jerman 5 November 1938 itu. Ia terlahir dari orang tua yang memeluk agama Kristen Protestan dan mengenyam pendidikan dasar serta menengah di sekolah Oldensworts dan Tonning, sebelum melanjutkan pendidikan menengah atas di sekolah Staat Nordseegymnasium di Bad St. Peter Ording.

Semasa mudanya ia menghabiskan waktu untuk mempelajari ilmu agama lain karena ia terinspirasi oleh gurunya Walter Freytag seorang misiologi dan teolog terkemuka dari Jerman yang mengatakan bahwa, seorang yang hanya mengetahui satu agama yaitu agama yang dia imani, maka ia cenderung akan menjadi hamba Tuhan yang fanatik dan intoleran. Oleh karena itu, ia pun fokus untuk mengkaji agama-agama lain salah satunya agama Islam.

Schumann memulai karir akademiknya di Fakultas Teologi Univeritas Kiel, Tubingen, Basel tahun 1959-1964. Sebagai seorang Protestan, Schumann tidak hanya menekuni bidang teologi Protestan akan tetapi perhatiannya terhadap hubungan antar agama, khususnya Islam dan Kristen begitu besar.

Setelah menyelesaikan kuliahnya di Kiel iapun melanjutkan studinya di Universitas Al-Azhar As-Syarief Kairo, Mesir dengan beasiswa yang diperolehnya dari Deutscher Akademischer Austauschdients. Di kampus Islam tertua di dunia inilah ia baru benar-benar menggeluti Islam sebagai bidang studinya. Selama empat tahun belajar di Mesir ia mendalami bahasa Arab, al Quran dan khazanah keilmuan Islam lainnya. Berkat kegigihannya mempelajari bahasa Arab dan keislaman, membuat Schumann tenggelam dalam kajian literatur Islam dari buku-buku primer.Pada tahun 1966-1968 Schumann menjadi guru bahasa Jerman pada Fakultas Ilmu Alam, Universitas Assiut di Mesir Selatan.

Prof. Olaf sendiri datang ke Indonesia sekitar tahun 1970-an dan bekerja sebagai peneliti di Lembaga Penelitian DGI (PGI saat itu). Bahkan, Litbang PGI merupakan salah satu karya beliau bagi gereja-gereja di Indonesia. Dari sini, lahir kegiatan Seminar Agama-Agama (SAA) PGI yang sudah berlangsung puluhan tahun dan menjadi agenda tahunan PGI; Prof. Olaf berperan penting dalam kelahiran Litbang PGI dan SAA.

Melalui Litbang PGI dan SAA, berbagai isu kontemporer dibahas dari perspektif berbagai agama yang ada di Indonesia dan telah memberi banyak masukan bagi PGI dalam menerjemahkan misinya di Indonesia. Prof. Olaf juga selama bertahun-tahun mengajar studi agama-agama dan Islamologi di berbagai sekolah teologi di Indonesia termasuk di sekolah teologi di Papua. Beliau telah menghasilkan banyak murid yang tersebar di seluruh Indonesia dan menjadi tokoh-tokoh agama Kristen saat ini.

Dalam waktu bersamaan, secara akademik, dia mengajar di Sekolah Tinggi Teologi di Jakarta sampai dengan tahun 1981, setelah itu Schumann dipanggil oleh Universitas Hamburg Jerman sebagai profesor Ilmu Agama dan Missiologi.

Dalam pandangan Schumann salah satu tragedi terbesar dalam bentangan sejarah peradaban umat manusia adalah Perang Salib. Selain karena banyaknya korban jiwa, Perang Salib juga meruntuhkan relasi Kristen dan Islam pada titik paling nadir karena peperangan ini terjadi selama lebih dari 100 tahun, terhitung sejak 1095 hingga 1291.

Perang Salib pecah karena perebutan Yerusalem dari Tanah Suci Islam (sekarang Palestina, Israel, sebagian Lebanon, serta Yordania). Disebut Perang Salib karena ekspedisi militer dari Eropa sewaktu berperang menggunakan tanda salib pada bahu, lencana, ataupun panji-panji yang menunjukkan bahwa pertempuran ini adalah perang suci (holy war).

Begitu juga terdapat banyak panji suci yang ditinggikan oleh umat Islam ketika perang itu. Masih menurut Prof Olaf, penyebab terjadinya Perang Salib adalah karena adanya pemahaman dari misi suci agama secara sepihak. Meski, tak dipungkiri ada pula faktor-faktor penyebab lainnya.

Jika umat beragama tidak bisa saling memahami dan memposisikan diri dengan umat lainnya maka bukan tak mungkin, tragedi memilukan itu bisa terulang di masa yang akan datang, meski dengan skala yang berbeda. Konflik Ambon dan Poso di Indonesia yang melibatkan umat Islam dan Kristen adalah contoh riil yang tak bisa kita tutupi atau kita bantah lagi. Terlepas apapun alasannya, konflik itu terjadi karena tidak adanya komunikasi dan dialog antar agama yang berkonflik sehingga timbul ketidaksepahaman dan saling curiga.

Karena disitulah mayoritas dari kita seperti sedang bercermin dan melihat rupa buruk kita: ‘intoleransi’, sebagaimana dahulu kebanyakan orang Barat-Kristiani hidup di abad Medieval atau abad pertengahan. Contoh intoleransi itu bagi Prof Olaf, punya alasannya sendiri, yaitu karena mereka malas melakukan dialog dan melewati prosedur ilmiah (rasional) dalam segala tindakan dan keyakinannya.

Sebagai antropolog-agama, Prof Olaf mentengarai; bahwa penolakan terhadap kebenaran di luar dirinya itu karena mereka tidak mencoba membuka diri untuk dinamis dan terlibat di luar dunianya. Dengan kata lain, formulasi pemaknaan terhadap kebenaran yang sangat subyektif dan fanatik pada tiap agama itu harus diatasi dengan dialog, sehingga makna agama  akan didapatkan secara fair dan ilmiah.

Karena itu, Prof Olaf menawarkan solusi, dan ini tidak bisa tidak, yaitu agar antar umat beragama untuk saling dialog dan saling belajar untuk memahami nilai-nilai luhur di luar kelompoknya, karena disana akan banyak ditemukan titik temu, baik secara teologi maupun secara sosiologi.

Menurutnya lagi, siapa saja yang mengkaji konsep teologi Islam yang termaktub dalam Al-Qur‟an akan menemukan kemiripan dengan konsep ketuhanan dalam agama Kristen. Dalam agama Islam ajaran tentang Tuhan telah banyak diterangkan dalam kitab al-Qur'an mengenai agama terdahulu, yang menceritakan kisah nabi mencari Tuhan hingga memberikan kabar tentang ajaran dari Tuhan. (Schumann. Pendakatan Pada Agama-Agama; 292)

Dari polemik Islam dan Kristen Prof Olaf lalu menjelaskan tentang makna kata Allah secara lingustik dan antropologis: “Allah adalah kata dalam bentuk tunggal: yang berarti Tuhan. Dari penelusuran makna lingustik ini, maka akan ditemukan garis lurus dan titik temu antara theologi Islam dan Kristen sebagaimana yang terdapat di al-Kitab, bahkan teologi Yahudi, Hindu- Budha, dan tentu titik temu dalam teologi ini akan akan sangat membantu mewujudkan kerukunan antar umat beragama secara sosiologi, khususnya bagi bangsa Indonesia yang multi agama. 

Apabila kerukunan umat beragama sudah terbangun, maka peradaban umat manusia niscaya akan jauh dari konflik dan pertikaian. Sehingga perdamaian di semesta akan tercipta seperti yang kita mimpikan.

Oleh : Mujahidin Nur, *Direktur Eksekutif Peace Literacy Institute Indonesia.*