Relasi PKB dan NU

Ketua PBNU periode 2022-2027 dan tim Asistensi Tim 5 Pendirian PKB tahun 1998, Amin Said Husni
Ketua PBNU periode 2022-2027 dan tim Asistensi Tim 5 Pendirian PKB tahun 1998, Amin Said Husni

BANYAK orang gagal paham terhadap pernyataan dan langkah Ketua Umum PBNU Kiai Yahya Cholil Staquf tentang relasi NU dengan organisasi politik dan kegiatan politik praktis.


Mereka mengira NU meninggalkan PKB. Yang bukan orang PKB lalu tepuk tangan, kegirangan. Sedangkan sahabat-sahabat saya di PKB (politisi anyaran yang juga gagal paham) menjadi Baper (bawa perasaan), merasa ditinggalkan.

Padahal ya tidak begitu maksudnya.

“Relasi NU dengan PKB itu alami sekali. Karena dulu PKB itu diinisiasi, bahkan dideklarasikan oleh pengurus-pengurus PBNU,” kata Ketua Umum PBNU Gus Yahya dalam wawancara dengan CNN Indonesia.

Itu fakta sejarah yang tidak bisa dihilangkan. Meskipun begitu, “NU tidak boleh menjadi alat dari PKB atau dikooptasi oleh PKB. Tidak boleh,” kata Gus Yahya lagi.

Mengapa?

Begini. Adalah fakta sejarah juga bahwa “keterlibatan” PBNU dalam pembentukan PKB pada tahun 1998, adalah untuk:

“Membantu keinginan warga NU untuk membentuk satu parpol yang dapat mewadahi aspirasi politik warga Nahdlatul Ulama.” (Ini kutipan dari surat tugas saya sebagi tim asistensi).

Saya ingat, ketika itu muncul banyak sekali inisiatif-inisiatif dari warga NU untuk bikin Parpol baru. Salah satu inisiatif yang paling lengkap berasal dari Lajnah Sebelas yang diketuai Kiiai Cholil Bisri (ayahanda Gus Yahya), Ketua Umum PBNU. Ada juga dari PWNU Jawa Barat. Dan yang lainnya.

Jadi, posisi PBNU ketika itu adalah sebagai fasilitator untuk menyatukan berbagai inisiatif itu, agar tidak bikin Parpol sendiri-sendiri.

Dengan kata lain, peran PBNU saat itu adalah “membikinkan” satu Parpol untuk warga NU, yaitu PKB. Para deklaratornya adalah pengurus PBNU, atas nama warga NU, bukan sebagai PBNU (cek alinea terakhir naskah Deklarasi PKB).

“Membikinkan” artinya PBNU melaui Tim Lima dan Tim Asistensinya membuatkan segala sesuatunya (mabda’ siyasi-nya, AD-ARTnya, Naskah Deklarasinya, hingga ‘jabang bayi bernama PKB’ itu siap dideklarasikan. Setelah itu, PKB leluasa mengurus dirinya sesuai aturan yang ada.

Harapannya, PKB bisa menjadi suatu kekuatan politik yang tangguh, yang benar-benar mengerti segala macam masalah yang dihadapi warga NU, memahami apa kebutuhan warga NU, dan mampu memperjuangkan aspirasi warga NU secara efektif.

Itulah mandat dari NU untuk PKB!

Lalu kenapa PBNU dan segenap jajaran strukturalnya tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik praktis, termasuk PKB?

Ketika menyebut “NU” saja, seringkali kita mencampuradukkan dua hal: yaitu jamaah NU dan jamiyah NU. Jamaah NU adalah sebutan lain dari warga NU, atau sering juga disebut dengan nahdliyin (orang NU).

Sedangkan jamiyah NU adalah organisasi NU dengan segenap struktur kepengurusannya, norma-norma yang mengaturnya, termasuk cita-cita, visi, dan idealismenya.

Betul, pada tahun 1998, PBNU sebagai organ jamiyah NU menugaskan Tim Lima dan Tim Asistensinya untuk “membikinkan” satu partai (yang kemudian diberi nama PKB) untuk warga (jamaah) NU, agar bisa menjadi wadah aspirasi politiknya.

Jika diilustrasikan, kira-kira PBNU itu bilang begini, “Tim Lima, tolong bikinkan satu partai buat warga NU, untuk menjadi wadah aspirasi mereka.”

Tidak ada hubungan struktural antara PKB dengan jamiyah NU. Tapi, jelas ada relasi yang kuat antara PKB dengan jamaah (warga) NU. Yakni relasi aspiratif, yaitu hubungan timbal balik antara partai dengan konstituennya. Warga NU memberikan dukungan, sedangkan PKB memperjuangkan aspirasi warga NU.

Ini rumus umum: siapa memperjuangkan kepentingan warga NU, dia pasti akan dapat dukungannya. Sepanjang PKB bisa menjadi wadah aspirasi dan mampu memperjuangkan kepentingan-kepentingan warga NU secara efektif, sebetulnya tidak perlu ada kekuatiran akan ditinggalkan oleh nahdliyin.

Adapun NU sebagai jamiyah, tidak bisa dan tidak boleh ditarik-tarik untuk menjadi alat kepentingan politik praktis PKB. Misalnya dengan mengeluarkan fatwa: semua warga NU wajib memilih PKB. Tidak bisa begitu.

Sebab, jamiyah NU harus tetap istikamah dalam menjalankan politik kebangsaan dan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan universal. Khidmah NU sebagai jamiyah diniyah ijtimaiyah adalah khidmah inklusif, khidmah untuk semua.

Jamiyah NU harus tetap menjadi perekat persatuan dan persaudaraan. Oleh karena itu Jamiyah NU tidak boleh terjebak di dalam sekat-sekat kepentingan. Itulah salah satu substansi dari khittah NU.

Kiranya jelas, bagaimana sejatinya relasi PKB-NU itu.

*Penulis adalah Ketua PBNU periode 2022-2027 dan salah satu anggota tim Asistensi Tim Lima Pendirian PKB