Tim PPHAM Jumpa Korban Selesaikan HAM Berat, Salah Kamar dan Kekeliruan Fatal

Aktivis HAM dan Pemerhati Hukum Tata Negara, Marthen Goo/Net
Aktivis HAM dan Pemerhati Hukum Tata Negara, Marthen Goo/Net

KITA dikagetkan dengan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM berat masa lalu yang resmi dibentuk sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022.


Tentu sangat aneh, di mana ketika Presiden berjanji akan menyelesaikan kasus HAM di Indonesia, namun hingga kini masa berakhirnya hampir mencapai 10 tahun kepemimpinan, tanda-tanda penyelesaian tidak begitu terlihat.

Kali ini, Presiden membentuk Tim PPHAM dengan maksud untuk menyelesaikan kasus HAM. Sementara, beberapa kasus HAM sendiri berkasnya selalu dikembalikan oleh Kejagung kepada Komnas HAM dengan alasan teknis, yang sesungguhnya alasan itu mesti dipikirkan solusi bersama untuk menyelesaikan kasus tersebut. Bahkan untuk kasus HAM seperti Abepura Berdarah, pelakunya bebas.

Ini terlihat seperti peradilan sandiwara. Presiden mestinya bisa memerintah Kejagung untuk seriusi kasus HAM tersebut.

Atau, dapat dilihat juga soal kasus Paniai berdarah yang dipertontonkan di publik ketika menetapkan pelaku pelanggaran HAM berat hanya 1 orang. Mana mungkin pelaku satu orang bisa disebut sebagai pelanggar HAM berat? Ini seperti lelucon yang dipertontonkan di publik.

Karena hal-hal dalam HAM berat, jelas, yakni (1) Unsur-negara/alat-negara; (2) Adanya tindakan yang Sistematis/Meluas, (3) Adanya korban. Sementara dalam UU No. 26/2000 Ttg HAM pada Pasal 9 disebutkan unsurnya adalah Sistematis/Meluas.

Pembentukan PPHAM tersebut adalah untuk menyelesaikan kasus HAM berat di masa lalu, dan itu dilakukan secara “Non-Yudisial”. Ketika bicara penyelesaian kasus pelanggaran HAM secara Non-Yudisial, tentu itu menjadi masalah karena dalam UU 26/2000 tidak menjelaskan penyelesaian masalah HAM melalui Non-Yudisial sehingga keberadaan Keppres 17/2022 sendiri tidak memiliki dasar hukum, jika kasus HAM ingin diselesaikan secara Non-Yudisial.

Posisi Hukum PPHAM Abal-abal

Jika merujuk pada hirarki perundang-undang seperti dalam UU 12/2011, Undang-undang di posisi tertinggi, apalagi dibandingkan dengan Keppres yang begitu jauh tingkatannya. Karenanya, Keppres harus didasarkan pada semangat UUD dan UU.

Jika merujuk pada UU, dasar hukum yang bisa dipakai adalah UU 26/2000 dan UU 39/1999. Sementara dasar hukum yang disebutkan hanya pada UU 39/1999 tapi tidak jelas rujukannya pada pasal berapa. Sehingga, ketika Keppres dibentuk dengan asumsi asbun tersebut, tentu akan menciderai semangat penyelesaian HAM dan rasa keadilan korban.

Dalam semangat penyelesaian kasus HAM, mekanisme penyelesaian kasus HAM adalah peradilan HAM, bukan lembaga abal-abal yang dibentuk tanpa dasar hukum dan hanya mengandalkan Keppres yang sesungguhnya, keberadaan Keppres juga dapat dikritisi soal dasar hukumnya.

Tidak ada ketentuan hukum dalam UU HAM yang membolehkan pembentukan lembaga di luar pengadilan HAM untuk menyelesaikan kasus HAM. Kecuali dibentuk UU Khusus yang kedudukannya lebih khusus.

Sementara dalam UU 39/1999, Pasal 104 Ayat (1) disebutkan bahwa untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Peradilan Umum.

Dan pada Ayat (2) disebutkan bahwa Pengadilan sebagaimana Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2), maka kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) diadili oleh pengadilan yang berwenang.

Karena dengan adanya lembaga tanpa dasar hukum HAM yang jelas dalam semangat penyelesaian kasus HAM, hal itu dapat disebutkan hanya sebagai niat untuk mengaburkan kasus HAM. Apalagi, unsur kejahatan HAM adalah State Actor.

Bagimana kasus HAM dapat diselesaikan oleh lembaga yang dibentuk Presiden hanya didasarkan pada Keppres sementara satu unsur soal subjek hukum adalah State Actor? Tentu hanya cerita mati dan sandiwara belaka.

PPHAM Tidak Bisa Menyelesaikan Kasus HAM, Apalagi Kasus HAM Berat Wasior

Jika merujuk pada Keppres Pasal 3, disebutkan bahwa (1) melakukan pengungkapan dan upaya penyelesaian Non-Yudisial pelanggaarn hak asasi manusia yang berat rnasa lalu berdasarkan data dan rekomendasi yang ditetapkan Kornisi Nasional Hak Asasi Manusia sarnpai dengan tahun 2O2O; (2) merekomendasikan pernulihan bagi korban atau keluarganya; dan (3) merekomendasikan langkah untuk mencegah pelanggararL hak asasi manusia yang berat tidak terulang lagi di masa yang akan datang.

Bagimana bisa mengungkap sementara pelaku tidak disebutkan? Bagimana pemulihan korban bisa terjadi jika pengungkapan pelaku dan pelaku tidak diberikan sanksi hukum sesuai perbuatannya?

Bagimana pencegahan bisa terjadi jika pelaku tidak diadili? Siapa yang diberikan kewenangan secara konstitusional untuk mengungkap pelaku dan mengadili pelaku?

Atas beberapa pertanyaan dan penjelasan di atas tersebut, maka keberadaan PPHAM sesungguhnya bukan lembaga penyelesaian kasus pelanggaran HAM, sekalipun itu untuk kasus penyelesaian kasus HAM masa lalu.

Penyelesaian kasus HAM berat selalu dengan menggunakan mekanisme peradilan HAM, bukan dengan lembaga politik yang dibuat oleh Presiden melalui Keppres. Tentu dalam semangat konstitusional, ini pertontonan yang buruk. Komnas HAM saja pun tidak diberikan kekuasaan menyelesaikan kasus HAM.

Jika merujuk pada pengertian HAM berat masa lalu, sesungguhnya menunjukan kasus pelanggaran HAM yang terjadi sebelum UU HAM dibuat.

Artinya bahwa kasus Wasior tersebut bukan bagian dari kasus HAM masa lalu, sehingga lembaga yang dibentuk secara politik tanpa memenuhi ketentuan hukum dan HAM tersebut sangat keliru dan fatal ketika mendatangi Wasior. Ini sama dengan hanya berpeknik ke Wasior untuk menghabiskan uang negara, walau dalam Keppres disebutkan kasusnya sampai tahun 2020.

Dalam semangat pemisahan kasus HAM berat masa lalu dan setelah pembentukan UU HAM, sesungguhnya hanya lebih pada pemisahan bentuk lembaga pengadilan HAM yang bersifat permanen dan ad hoc serta pemisahan batas waktu kejadian kasus HAM tersebut.

Jadi, jika lembaga politik yang dibentuk presiden berasumsi hendak menyelesaikan kasus HAM hanya didasarkan pada Keppres, artinya bahwa ada upaya politisasi kasus HAM berat, dan itu juga dapat disimpulkan bagian dari upaya mengaburkan kasus HAM.

Apa lagi jika dalam Keppres tersebut semangatnya adalah untuk menyelesaikan masalah HAM hingga 2020 dengan “pengungkapan dan analisa”. Sementara, dalam teori kekuasaan di Indonesia soal pembagian kekuasaan, kasus hukum menjadi kekuasaan yudikatif, bukan kekuasaan eksekutif.

Hal itu juga didukung dengan prinsip pemidanaan, dimana denda tidak menghentikan proses hukum, apalagi kasus kejahatan berat hak asasi manusia.

Dengan demikian keberadaan PPHAM hanyalah lembaga yang tidak memiliki dasar hukum, atau sebagai lembaga politik baru yang terkesan hanya ingin mengaburkan rasa keadilan korban dan tentu tidak dapat menyelesaikan kasus HAM Wasior.

Oleh karenanya, Presiden diharapkan cabut Keppres 17/2022 yang tidak memiliki dasar hukum tersebut.