Protes Omicron

SAYA diprotes beberapa teman: Disway edisi kemarin dianggap meremehkan Omicron.


Nicky, salah satu responden survei itu, kemarin, ternyata positif Covid-19 entah varian apa. Dia tidak merasa apa-apa. Dia harus tes karena teman sekantornyi positif. Maka dia pun tes: positif.

Sampai tadi malam Nicky tidak merasa apa-apa. Tidak demam, tidak batuk, tidak merasakan perbedaan apa pun.

Dia belum pernah vaksin karena pegang komitmen sebagai relawan Vaksin Nusantara. Pekan lalu, dari VakNus meneleponnya: sudah boleh vaksin apa saja. Nicky pun sudah siap-siap ingin jadi relawan vaksin Merah Putih-nya Unair. Ternyata keduluan divaksin oleh Tuhan.

Saya satu mobil dengan Nicky sehari sebelumnya. Selama 6 jam Surabaya-Tuban pulang pergi. Bersama istri dan Kang  Sahidin. Saya terus memonitor keadaan istri: tidak apa-apa dan semoga tidak apa-apa. Waktu saya kena Covid tahun lalu, istri saya juga tetap negatif.

Istri saya sudah tiga kali vaksin. Saya sendiri sudah lima kali vaksin: oleh Tuhan, oleh dr Terawan, dua kali Sinovac, dan booster Sinovac lagi.

Kemarin, sampai di kantor Jakarta, saya dapat laporan: tiga orang karyawan terkena Covid. Dua sudah sembuh. Tanpa masuk rumah sakit. Yang satu masih tunggu hasil tes kedua: juga tidak masuk RS.

Salah satu dari tiga orang itu pernah kena Covid Januari tahun lalu. Demikian juga istrinya yang lagi hamil 8 bulan. Lalu mertua perempuannya. Tiga-tiganya  masuk RS selama satu minggu. Sembuh.

Di era Omicron ini lebih banyak lagi di keluarga karyawan itu yang kena Covid: seisi rumah, enam orang. Istrinya kena, mertua laki-laki kena, keponakan kena, si bayi yang tahun lalu masih dalam kandungan itu juga kena. Hanya mertua perempuan, yang setahun lalu terkena Covid, kali ini tidak kena.

Kemarin, enam orang itu sudah sembuh semua. "Kami  demam hanya sehari saja," katanya. "Suhu badan 38 derajat," tambahnya.

Saat merasa demam itu, ia  mengirim pesan ke dokter. Minta obat. Setelah ditanya segala macam gejala, dokter memberi tiga jenis obat: penurun panas, antibiotik, dan obat batuk. Keesokan harinya reda. Tinggal tunggu negatif.

Lain lagi dengan "distributor" Disway dari Indramayu ini: Iif Turiah.

Dia ini pembaca yang sangat rajin share Disway. Dia juga protes, kemarin. Mengapa? "Saya juga kena Covid lagi," katanya.

Tahun lalu, saat pertama kena Covid, dia merasa hampir mati. Sesak, nyeri, demam. Jadi satu. Dia bertahan tidak masuk RS karena satu hal: tidak ada yang menjaga ibunya. Sang ibu sakit, sudah lama. Tidak mungkin ada orang selain Iif yang bisa mengerti keadaannyi: sering masak nasi dengan menaruh rice cocker di atas kompor yang menyala.

Dia hanya bertiga dengan sang ibu dan anaknya di rumah itu.

Enam bulan kemudian Iif kena Covid lagi. Untuk kali kedua. Tidak seberat yang pertama.

Kali ini dia merasa kena Covid lagi. Untuk yang ketiga.

"Sudah tes?"

“Belum".

"Kok tahu kena Covid?“

“Saya kan tahu rasa kena Covid itu seperti apa".

"Kenapa tidak pergi tes?“

“Itu sama dengan menyuruh saya masuk RS. Lantas siapa yang jaga ibu?"

Iif ternyata sudah pandai menulis. Setelah membaca Disway kemarin, dia langsung mengirim tulisan ini:

Omicron di sini merebak hampir gantian menulari.

Awalnya kupikir hanya flu biasa. Terus ingat-ingat saya kan nggak habis minum es, kok flu-nya separah ini? Cairan di hidung (ingus) meluncur bebas seperti air saja. Gak ada kentalnya seperti cairan flu pada umumnya.

Entah habis berapa pak tisu. Dengan tisu itu saya bisa menahan ingus cair itu agar tidak meluncur bebas. Napas jadi berat. Waktu Salat Asar, pas ruku ingus menetes ke sajadah. Walau tidak najis tapi sajadah itu kuganti juga.

Itu berlangsung lama: dari selepas duhur hingga selepas asar.

Panik? Tidak sih... Hanya risau mengatur gerak tangan. Posisi pun seperti sayap mengepak, agar paru tetap teraliri oksigen. Nafas terasa berat. Kupancing dengan  bersendawa/tengkurap seperti orang habis makan. Berulang-ulang. Untungnya, sudah biasa. Saya, kalau bersin memang gak cukup sekali. Sangat membantu. Jadi agak plong.

Setelah itu berasa sekali sirkulasi oksigen lancar. Aliran darah seperti berebut menyerbu paru.

Saya langsung sering ke kamar mandi. Menguras cairan.

Saya perbanyak minum air putih. Gak kepikiran air hangat. Mungkin akan lebih cepat menguras cairan yang meluncur bebas....

Ripuh beta mengatasi agar tidak panik. Tapi kepikiran juga bagaimana kalau sampai lemas hingga meninggal.

Kusiapkan beberapa buku. Yang paling atas isinya uang arisan. Hampir 5jt. Lalu buku tabungan&deposito. Perhiasan&surat-suratnya. Dan lain-lain. Semua saya taruh di laci.

Di rumah hanya sama ibu dan Dini. Tetap juga  sholawatan dalam hati. Lalu bikin kopi sambil menikmati setiap tegukanya.

Gak mau berpikir banyak lagi. Pandangan menyapu ke teras rumah mencari posisi emak duduk di mana. Jangan sampai sendirian. Bahaya.

Sesekali ngegodain Dini. "Gantian njagain&nemenin made yang duduknyi di luar sana". Kalau gak mau, wifi di stop. Dia pun menurut sambil manyun-senyum manja.

Alhamdulillah menjelang magrib ini, mendengar suara adzan, kok mendadak bisa pulih dan normal. Seperti tidak terjadi apa-apa.

Nyruput kopi. Lalu ke musola. Berjamaah.

Mungkin di situ juga saya terkena.

***

Seorang dokter juga "protes". Ia lagi memperdalam spesialis jantung di UGM.

Namanya: Jagadito.

Protesnya halus: kirim berita.

Isinya: 521 dokter resident terjangkit Covid-19.

Omicron begitu cepat menyebar: sudah melewati angka 46.000/hari Rabu lalu.

Sedikit lagi sudah mencapai target perkiraan Juli: 60.000. Padahal ini baru saja Imlek. Belum lagi perayaan cap go meh: 15 Februari 2022.