Minyak dan Gandum

Foto Disway
Foto Disway

RUSUH politik akibat kenaikan harga-harga merembet: dari Pakistan ke Sri Lanka.


Seluruh menteri anggota kabinet di Sri Lanka –Anda sudah tahu– serentak mengundurkan diri. Sebelum itu demo besar-besaran terjadi di Colombo: mengecam pemerintahan kakak-adik di sana.

Sistem politik di Sri Lanka adalah semi presidensial. Presidennya dipilih langsung, tapi tidak punya hak prerogatif penuh untuk mengangkat menteri.

Anggota kabinetnya harus diambil dari anggota DPR yang terpilih. Sang presiden memang juga kepala pemerintahan tapi masih harus punya perdana menteri.

Presiden Sri Lanka sekarang: Gotabaya Rajapaksa.

Perdana menterinya: Mahinda Rajapaksa.

Mereka adik-kakak. Gotabaya 72 tahun. Mahinda 76 tahun.

Dari 26 menteri yang ikut mengundurkan diri itu termasuk anak Sang Perdana Menteri: Namal Rajapaksa, menteri pemuda dan olahraga.

Seperti juga Pakistan (Baca Disway Edisi: Nasib Imran) Sri Lanka tidak punya minyak dan gandum yang cukup. Dua komoditas itu jadi urat nadi kebutuhan hidup rakyat. Dua-duanya krisis. Harganya melambung tinggi.

Dua tahun dihantam pandemi Covid-19, ditambah dua bulan perang di Ukraina, membuat Sri Lanka sangat sulit.

Mau menambah utang, gunung utangnya sudah tinggi-tinggi sekali. Mau menambah impor gandum cadangan devisanya sudah sangat tipis: tinggal USD 2,3 miliar –bandingkan dengan Indonesia yang punya USD 142 miliar.

Dengan cadangan devisa cuma segitu, itu hanya cukup untuk impor 1 bulan. Betapa mendebarkannya –mengingat BBM dan gandum harus impor 100 persen.

Indonesia pernah punya cadangan devisa lebih mengerikan: hanya cukup untuk impor satu minggu. Tapi itu jadi sejarah masa lalu. Yakni di zaman akhir pemerintahan Bung Karno. Ketika itu politik juga jadi panglima.

Sri Lanka sedang mencari tambahan pinjaman sekuatnya. India, tetangga terdekatnya, menjanjikan tambahan USD 1 miliar.

Tiongkok USD 2 miliar –meski utangnya ke Tiongkok sudah kelewat besar. Yang USD 1 miliar harus untuk membeli barang di Tiongkok. Padahal Tiongkok tidak punya cukup minyak dan gandum.

Itu belum cukup. Harus cari sumber lain. Sri Lanka juga lagi mendekati IMF. Salah satu menteri yang mengundurkan diri itu pun sebenarnya lagi berada di Washington untuk menemui IMF.

Sebenarnya posisi politik adik-kakak ini kuat sekali. Mayoritas parlemen dikuasai koalisi pemerintah.

Tapi rakyat telanjur marah –akibat harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi.

Reputasi adik-kakak ini –di bidang pembangunan– sangat baik.

Dimulai ketika Si Kakak (Mahinda) menjadi presiden. Sampai dua periode: 2005-2010 dan 2010-2015. Pembangunan maju sekali.

Konstitusi baru Sri Lanka membatasi masa jabatan presiden maksimum dua periode. Pemerintahan pun berganti. Padahal ia sukses sekali.

Di zaman Mahinda Rajapaksa-lah perang sipil kelompok Hindu dan Buddha berakhir. Sangat bersejarah. Perang itu telah berlangsung puluhan tahun. Bisa diselesaikan.

Di zaman kepresidenan Mahinda segala macam pembangunan infrastruktur dilakukan: bandara, pelabuhan, jalan tembus dan apa saja –sebagian besar pakai pinjaman dari Tiongkok.

Begitu populernya Sang Presiden sampai Mahinda sudah dianggap seperti raja. Nama-nama jalan, bandara, pelabuhan, stadion, sampai pun nama perusahaan penerbangan-murah pakai namanya.

Egonya itu yang membuat kecintaan padanya tidak penuh. Apalagi anggota keluarga Rajapaksa banyak yang masuk ke politik. Tiga adiknya jadi anggota DPR atau menteri. Juga para keponakan. Salah satunya sampai masuk pengadilan: korupsi.

Setelah ganti pemerintahan, Mahinda jadi pemimpin oposisi. Selama lima tahun. Sampai adiknya, Gotabaya Rajapaksa, terpilih menjadi Presiden Sri Lanka di periode berikutnya.

Karena tidak bisa tiga periode, Mahinda ganti nyaleg: terpilih jadi anggota DPR. Maka ia memenuhi syarat untuk masuk kabinet adiknya: jadi perdana menteri.

Nasib kepresidenan Sang Adik tidak sebaik Sang Kakak: baru setahun jadi presiden diserang pandemi. Ekonomi macet. Lalu dipukul harga minyak dan terigu.

Kemacetan pun merembet ke politik. Lalu ke sosial. Krisis terjadi di banyak bidang.

Presiden Gota kini lagi mendekati oposisi: untuk membangun pemerintahan bersama. Alasannya: agar rukun, bersatu untuk menyelesaikan masalah bangsa dan keluar dari krisis.

Yang dirayu bergeming. Oposisi akan terus bergerak menentang Gota. Sampai sang presiden meletakkan jabatan. Demo oposisi telah mengguncang kabinet. Tapi Presiden Gota masih tetap bertahan.

Nama pemimpin oposisi itu: Sajith Premadasa. Umur: 55 tahun.

Sajith dua kali menjadi menteri di pemerintahan sebelum Presiden Gota.

Saat ini ia anggota DPR dari Samagi Jana Balawegaya. Kursi partai ini hanya 54 dari 225 kursi di parlemen.

Sajith, lulusan London School of Economics dan University of Maryland USA. Dengan hanya 54 kursi sebenarnya Sajith tidak bisa banyak berbuat. Tapi kondisi harga-harga telah menyulut emosi rakyat. Jalan keluarnya pun tidak mudah. Dan Sajith memanfaatkan itu.

Demo luar biasa besar dan ricuh. Pemerintah sampai menyatakan negara dalam keadaan darurat. Setidaknya selama 36 jam ke depan.

Sri Lanka merdeka sejak 1948 –tapi jadi Republik di tahun 1972. Demokrasi di Sri Lanka –juga di Pakistan– kini dalam ujian.

Kalau pun Gota mundur belum tentu ada tokoh kuat yang bisa diharap memajukan Sri Lanka.

Pun Pakistan. Kalau pun Imran Khan jatuh, oposisi masih belum sepakat: siapa yang akan tampil. Bisa kembali ke persaingan dua dinasti politik di sana: Bhutto dan Sharif.

Keduanya pernah dapat kesempatan memimpin. Keduanya juga jatuh di tengah jalan.

Vladirmir Putin dan Zelenskyy tidak hanya saling menyulitkan diri mereka sendiri. Mereka juga membuat sulit Pakistan dan Imran Khan. Lalu Gota Rajapaksa dan Sri Lanka.