Mengokohkan Komitmen Ke-Islaman Dan Kebangsaan HMI

Penulis: Arya Kharisma Hardy, (PJ Ketua Umum PB HMI)
Penulis: Arya Kharisma Hardy, (PJ Ketua Umum PB HMI)

TERLAHIR dalam latar sosiologis dan politik Negara yang masih berusia dua Tahun (1947), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) tumbuh bersama panasnya sisa-sisa bara api revolusi kemerdekaan.  Dengan semangat pembebasan atas kolonialisme yang dibangun di atas fondasi tauhid, HMI muda tak gentar maju bersama pejuang revolusi lainnya.

Tepatnya pada tanggal lima Februari tujuh Puluh Empat tahun silam, bertempat di salah satu ruang kuliah Sekolah Tinggi Islam/STI (sekarang UII), Jl. Setyodiningratan 30 (Sekarang P. Senopati 30), Lafran Pane, sebagai penggagas pertama HMI memanfaatkan jam kuliah tafsir Alqur’an yang diasuh oleh Prof. Husein Yahya untuk mendeklarasikan pembentukan HMI.

Harian Kedaulatan Rakyat tertanggal 28 Februari 1947 secara sekilas memuat sebuah berita bahagia ini dalam salah satu rubriknya, demikian isinya:

“Baru-baru ini di Yogyakarta, telah didirikan Himpunan Mahasiswa Islam. Anggota-anggotanya terdiri dari mahasiswa-mahasiswa seluruh Indonesia yang beragama Islam. Perhimpunan akan menjadi anggota Kongres Mahasiswa Indonesia.

Sekretariat : Asrama Mahasiswa, Setyodinigratan 5 Yogyakarta. Hanya ini pemberitaan yang kita dapati dari pers, sehubungan dengan berdirinya HMI”.

Dengan diumumkannya kelahiran HMI ini, menjadi sinyal awal dari sebuah babak baru arus perjuangan mahasiswa dan kaum terpelajar Islam Indonesia yang seringkali sangat menentukan dalam mengubah arah sejarah bangsa ini.

Di masa pergolakan politik dan ideologi ini, HMI hadir sebagai kekuatan penyeimbang bagi hegemoni ideologi kiri (sosialisme) yang sangat populer di kalangan pelajar dan mahasiswa pada periode awal orde lama. HMI yang lahir dengan misi men-syiarkan ajaran Islam, tentu memahami betul akan bahaya dan ancaman ajaran komunisme yang berlindung di balik kekuatan politik rezim orde lama. Tak jarang HMI menjadi tameng bagi kekuatan kelompok nasionalis dan kelompok Islam politik yang saat itu masuk dalam konfigurasi konflik antar faksi ideologi politik.

Kiprah dan gerakan HMI yang terkenal taktis dan elegan kembali menemukan jalurnya dalam jalan sejarah bangsa, saat rezim orde baru yang awalnya cenderung sensitive terhadap kelompok  Islam politik memilih untuk mengalihkan perhatiannya secara serius kepada kehadiran sekelompok cendikiawan Islam. Marjinalisasi politik yang oleh banyak kalangan muslim sendiri lebih jauh menggunakan ungkapan “Islam ditindas” ini, semakin menemukan kesempatan untuk melakukan titik baliknya ketika kelompok Islam yang dipelopori oleh tokoh-tokoh HMI seperti Akbar Tandjung dan Nurcholis Madjid tampil sebagai profil pemikir dan politisi nasionalis-agamis di pelataran kekuasaan Suharto.

Pemikiran dan politik Islam mengalami ekspansi luar biasa berkat pertumbuhan ekonomi dan bertambahnya kalangan terpelajar dan cendikiawan Muslim yang menimbulkan perubahan sangat cepat dan berdampak luas di bidang sosial, kultural, dan keagamaan. Dalam plot sejarah yang krusial ini, HMI tidak hanya patut disebut sebagai salah satu pelopor pembaharuan Islam di Indonesia, lebih dari itu tokoh HMI seperti Cak Nur bahkan berhasil menjadi jembatan penghubung antara paham Islam wasatiyah Indonesia dengan Barat dan dunia internasional.

Perpaduan antara kecakapanya dalam penguasaan teks-teks agama dengan dialektika di lingkungan Islam modernis menjadikan Cak Nur (Nurcholis Madjid) sebagai sosok intelektual paripurna, yang oleh Greg Barton (1999) disebut sebagai neo-modernis.

Sementara sosok politisi senior Akbar tandjung merupakan pelopor terbentuknya Kelompok Cipayung, yang merupakan forum irisan antar elemen gerakan Mahasiswa seperti HMI, PMKRI, GMNI, PMII, dan GMKI cukup mempunyai peran dalam memberikan ide-ide tentang pluralisme dalam dialektika kebangsaan hingga hari ini.

Di usianya yang ke-74 pada tahun ini, warisan nilai Ke-Islaman dan Kebangsaan masih menjadi pusaka perjuangan kader HMI yang istimewa dan selalu terlestari. Meskipun kontribusi pemikiran dan gerakan HMI hari ini tidak sedramatis angkatan 66, namun resonansi pergerakan HMI di setiap level dalam menampilkan idealismenya dan membela hak-hak rakyat demi merawat nilai-nilai kebangsaan masih terasa.

Komitmen ke-Islaman HMI yang merupakan prinsip perjuangan HMI, secara fitrawi terinklusi ke dalam semangat dan komitmen Kebangsaan. Keduanya bagai dua sisi mata uang yang saling melengkapi dan menyempurnakan nilai-nilai kemanusiaan yang berketuhanan khas Bangsa Indonesia. Sehingga keduanya hanya akan memenuhi syarat kesempurnaan jika diucap secara senapas dan ditunaikan secara terpadu hingga saling mengokohkan. Bahkan ketika realitas sosial politik nasional tidak selalu meguntungkan dan berpihak kepada idealitas nilai-nila dasar perjuangan kader HMI.

Fondasi ke-Islaman dan Kebangsaan yang dibangun secara kokoh oleh para pendiri dan tokoh intelektual HMI, membawa HMI menempuh jalur perjuangan secara tidak biasa seperti OKP Islam lainnya yang cenderung merupakan underbow dari ormas Islam Indonesia. Pluralitas mazhab dalam internal HMI merupakan pembeda yang special sebagai simpul pemersatu Islam (ukhuwah Islamiyah) antar kader.

Sektarianisme mazhab dan pemikiran dalam Islam merupakan fenomena sosial agama yang mampu mengubah kedamaian agama menjadi api konflik yang mematikan. Karena sekali sektarianisme agama berbaur dengan pengelompokan sosiologis masyarakat keagamaan dan sekaligus didukung kekuasaan politik, ketika itu keadaan menjadi memburuk, membuat sangat sulit mengatasinya.

Pada titik inilah HMI hadir sebagai meelting pot bagi pemikiran generasi muda Islam dalam meredam konvergensi lintas mazhab dan ormas di Indonesia dan bahkan dunia. Dengan komitmen yang teguh dalam mewujudkan Islam yang damai inilah, untuk menunaikan komitmen Kebangsaan (Ukhuwah Insaniah) bagi HMI  merupakan sebuah kebutuhan dan common sense kemanusiaan universal. Maka sangat tidak rasional untuk sekedar ragu dengan komitmen Kebangsaan HMI dalam merawat dan melestarikan kebinekaan NKRI tercinta.