STATUS KEPEMILIKAN PENGETAHUAN LOKAL SUKU MARORI

Penulis adalah Agustinus Mahuze yang merupakan Budayawan Suku Marind
Penulis adalah Agustinus Mahuze yang merupakan Budayawan Suku Marind

SEBUAH FRAME AWAL SUKU MARORI

Pengetahuan lokal Marori tentang cara menghormati leluhur. Rekam jejaknya dimulai dari kolut pere. Kolut pere adalah sebuah istilah dalam bahasa Marori mengenai dua sebutan;

Sebutan pertama itu berkaitan dengan gundukan ayam hutan (Gallus gallus). Jenis ayam ini dikenal dengan dua jenis yakni yanggam dan kata. Dua jenis ayam hutan yang sering dijumpai di hutan.

Tidak ada penanda hubungan yang spesifik berkaitan dengan pengetahuan lokal mengenai hewan ini tetapi gundukan atau istilah lain untuk sarangnya ini biasa digunakan sebagai simbol bagi pengetahuan lokal. Istilah ini merujuk pada dua hal pokok kolut pere sebagai sarang ayam hutan serta kolut pere sebagai rekam jejak leluhur.

KOLUT PERE SEBAGAI REKAM JEJAK LELUHUR

Pertama -tama merekonstruksi rekam jejak leluhur ini dimulai dari pengetahuan lokal :

  • Pengetahuan akan tutur sejarah.
  • pengetahuan akan topografi wilayah .
  • pengetahuan akan batas -batas.

Komposisi dari pengetahuan sejarah setiap klan diturunkan secara lisan dari generasi satu kepada generasi lainnya. Mitologi akan cerita leluhur adalah peristiwa mite yaitu sebuah peristiwa masa lampau yang akan terus berada dalam benak setiap keluarga yang memiliki kesamaan Marga. Hal ini komposisi awal bagaimana frame kognitif kita dibangun untuk mengerti sejarah lokal lebih awal .

Perlu pendekatan yang adaptif untuk merekonstruksi gagasan sejarah lisan :

  • Pengetahuan tutur sejarah merupakan daya untuk mengamati keadaan orang lokal dengan pengetahuan modern.
  • Merekonstruksi dalam pemikiran baru mengenai sejarah kota dari aspek histori.

WAJAH MERAUKE DALAM PERSPEKTIF LOKAL

Dinamika serta pengetahuan modern menuntut kita untuk mewarisi nilai -nilai tersebut dengan cara adaptif. Siapa yang akan bertanggung untuk menurunkan identitas itu ke dalam diri anak-anak ketika mereka ada dalam masa pertumbuhan. adalah sebuah pekerjaan bersama dari kita untuk membangun aspek kesejarahan yang diwariskan secara baik turun temurun.

PROGRES DEGRADASI  INFORMASI TERHADAP PERISTIWA

Pada tahun 1902 adalah sebuah sejarah mengenai kehadiran pemerintahan Belanda di Tanah Merauke. Apakah kita perlu memahami dengan baik dimana pos polisi tersebut ditempati.

Dilansir dari Portal Merauke Asal mula nama "Merauke" sebenarnya berasal dari sebuah salah paham yang dilakukan oleh para pendatang pertama. Siapakah para pendatang yang dimaksud kalau berbicara mengenai persoalan kehadiran orang -orang Buton itu terjadi pada tahun -tahun sebelum kehadiran orang Belanda di Merauke karena mereka hadir untuk mencari burung cendrawasih atau burung kuning .

Istilah Pu-anim itu merujuk pada peristiwa ketika orang - orang Buton datang mencari dan menembak burung cendrawasih pada saat itu terdengar bunyi maka istilah untuk puanim itu disematkan pada orang yang datang dari luar Merauke. Sebenarnya istilah dasar dari itu Pu-artinya; bunyi -anim itu orang artinya orang bunyi .

Ketika para pendatang menanyakan kepada penduduk asli apa nama sebuah perkampungan, mereka menjawab "Maro-ke" yang sebenarnya berarti "ini sungai Maro". Antara ucapan Maroke- atau menggunakan ucapan Marokah-ehe ini kali/sungai maro harus dipertegas mengingat penyebutan tempat biasa menggunakan petunjuk .

Boelaars dan Vertenten mencatat kehidupan untuk suku asli yang mendiami wilayah Kota Merauke itu Orang Marind. Orang marind yang menempati wilayah Noari salah satunya. Noari adalah sebuah kampung yang didiami oleh orang Marind, berjejer di tepi itu dimulai dari Buti, Yawati sampai dengan Kayakai. Kampung dalam sejarah dan perspektif orang Marind harus diperhatikan konteks hubunganya dengan sejarah kota.

Proses degradasi informasi ini menjadi pekerjaan bersama. Kita paham mengenai sejarah lahirnya kota Merauke pada tahun 1902 tetapi informasi tersebut tidak memiliki literatur sejarah yang baik dalam bentuk ornamen serta fitur -fitur mengenai kehidupan kota awal di Merauke beserta aspek kesejarahannya.

Kita menjadi a-historis terhadap pertumbuhan kota. Pertumbuhan ketika awal kedatangan misionaris sampai dengan Integrasi pada tahun 1969 sampai dengan sekarang. Sisa -sisa perang Trikora tidak menjadi penanda karena literasi dan kemelekan kita tentang sejarah rendah .

TEMPAT-TEMPAT YANG MERANA

Tidak ada ruang bagi pengetahuan lokal beserta peninggalannya. Kita tidak memiliki gambaran yang utuh mengenai perkembangan 100 tahun wajah dari Kota ini. Kota Merauke telah berumur lebih dari 100 tahun. Tetapi literatur sejarah mengenai pertumbuhan sejarah tidak diperhatikan dengan baik. Banyak gedung -gedung bersejarah merana karena tidak ada titik tolak bagaimana aspek kesejarahan kota ini dibangun dengan baik.

Informasinya berserakan dari pertumbuhan kota yang di bangun oleh Belanda pada tahun 1902 sampai dengan Integrasi pada tahun 1969, sebagai contoh Padi Koembe sebagai bagian produk -produk sejarah kota ini hilang tak bertumpu sebagai contoh dan juga rumah sakit lepra atau sekarang dikenal dengan leproseri, kantor pos dan beberapa tempat lainnya.

PERLUNYA INTERPRETASI

Interpretasi dalam aspek ini meliputi penulisan sejarah ulang mengenai wilayah ini khusus wilayah Kota. Kota Merauke beserta aspek kesejarahannya mesti ditulis ulang untuk memahami dengan baik bagaimana pusat kehidupan orang yang berada di Kota. Pusat pertumbuhan Manusia awal yang terdiri dari suku-suku awal yang mendiami wilayah ini sampai dengan pada pertumbuhan sosial budaya.

Pemetaan aspek bahasa dan budaya dalam kota khusus untuk orang Marind menjadi penting mengingat dari aspek ini literatur kesejarahan kota dibangun berdasarkan frame lokal yang ada sehingga aspek pengetahuan lokalnya dihargai dengan baik. Pengetahuan akan tutur sejarah, pengetahuan akan topografi wilayah, pengetahuan akan batas -batas menjadi sesuatu yang baik bagi kerangka berpikir kita terhadap orang Marind di kota.

Agustinus Mahuze, Penulis Merupakan Budayawan Suku Marind