Milad ke-48 MUI dan Ketahanan Keluarga

 Kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI)/Net
Kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI)/Net

MAJELIS Ulama Indonesia (MUI) kini genap berusia 48 Tahun. Didirikan pada 26 Juli 1975, wadah musyawarah para ulama, zu'ama, dan cendikiawan muslim di Indonesia yang kini menaungi 70 ormas Islam ini tetap istiqomah mengemban amanah umat dan bangsa. Yaitu, sebagai khodimul ummah (pelayan umat) dan shodiqul hukumah (mitra pemerintah).


Di usia yang mendekati setengah abad ini, MUI tentunya akan terus berkomitmen dalam mewujudkan harmoni keummatan, kebangsaan, dan keagamaan, dan kemaslahatan secara nasional, termasuk pada permasalahan rapuhnya ketahanan keluarga pada masyarakat Indonesia yang menjadi tantangan serius.

Isu ketahanan keluarga makin marak diperbincangkan di masyarakat mengingat semakin meningkatnya angka perceraian, khususnya gugat cerai yang dilayangkan ke meja pengadilan. Tidak sedikit keluarga juga memilih untuk bercerai karena masalah yang terjadi dalam rumah tangganya tidak bisa diselesaikan sehingga perlu mengetahui upaya apa saja yang harus dilakukan untuk menjaga keutuhan keluarga di masa normal baru pascapandemi Covid-19 melanda.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengungkapkan perceraian meningkat pesat akhir-akhir ini, di mana sampai 2022 hingga kini, perceraian terjadi lebih 500 ribu setiap tahun, 75 persen yang meminta cerai adalah perempuan. Kasus perceraian ini terbilang tinggi, karena dalam setahun yang nikah hanya 1,9 juta pasangan.

Menurut pengamatan lebih lanjut ternyata mayoritas alasan perempuan meminta cerai karena konflik kecil-kecil yang berkepanjangan. Faktor selanjutnya yaitu karena faktor ekonomi. Ketiga meninggal salah satunya, entah itu istri atau suami. Urutan keempat penyebab perceraian adalah kekerasan dalam rumah tangga.

Selain itu, pergeseran budaya, pola pikir dan struktur ekonomi masyarakat dalam era disrupsi ini juga berdampak pada kearifan dan resiliensi keluarga dalam mengelola dan mengatasi konflik.

Akhir-akhir ini banyak terjadi perilaku anak yang tidak menghargai orang tuanya bahkan tega menyakitinya, begitupun sebaliknya orang tua pun tega untuk membuang buah hatinya.

Sebuah fakta yang cukup mengejutkan, di daerah-daerah yang selama ini dikenal dengan masyarakatnya yang agamis, terjadi peningkatan angka perceraian secara signifikan dan perilaku menyimpang seperti adanya hubungan inses antara ibu dan anak kandung, atau kasus rudapaksa seorang ayah kepada anak kandungnya yang sedang ramai diperbincangkan di tengah masyarakat, sekaligus menandakan degradasi moral yang terjadi di Tanah Air.

Ketahanan keluarga adalah kemampuan keluarga dalam mengelola masalah yang dihadapinya berdasarkan sumberdaya yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan dari sudut pandang agama dan sosial-budaya, ketahanan keluarga adalah dimensi yang fundamental sebagai benteng terakhir ketahanan bangsa dan negara.

Sementara ketahanan keluarga muslim adalah barometer ketahanan keluarga Indonesia karena populasi muslim adalah yang terbesar jumlahnya.

Sebuah penelitian terbaru merilis, masalah sosial yang menjadi krisis ketahanan keluarga saat ini seperti munculnya kenakalan remaja, kecanduan narkoba, penyimpangan perilaku dan kelainan orientasi seksual pada anak (termasuk makin masif gerakan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender - LGBT), sebagian ditemukan berkaitan dengan pelarian dari persoalan dalam keluarga, yang memerlukan respon secara tepat dan sistematis dari berbagai pihak, terutama oleh MUI.

Salah satu hal yang kerap dikhawatirkan oleh orangtua di mana pun – terutama orangtua dari anak yang berusia remaja – adalah mudahnya lingkungan di sekitar anak dapat menjerumuskan mereka untuk mencoba hal-hal yang tidak benar, termasuk pada penyalahgunaan narkoba.

Data dari Badan Narkotika Nasional (BNN RI) 2022-2023, sebanyak 4,8 juta rakyat Indonesia telah menggunakan narkoba. Angka ini diprediksi akan terus meningkat setiap tahunnya.

Bila tidak segera ditanggulangi melalui keluarga, maka bangsa ini akan kehilangan generasi unggulan, padahal seharusnya, generasi tersebut akan menjadi tulang punggung bangsa ini.

Tantanga ketahanan keluarga Indonesia terkini juga bagaimana menghindari anak-anak mereka dari gagal tumbuh dan gagal berkembang (stunting). Bila hal ini dapat dilaksanakan maka masyarakat akan menemukan relevansi pentingnya pencegahan stunting untuk menjaga dan merencanakan keluarga, serta masa depan anak dan cucu.

Statistik PBB 2020 mencatat, lebih dari 149 juta (22 persen) balita di seluruh dunia mengalami stunting, dimana 6,3 juta balita stunting adalah balita Indonesia. Menurut UNICEF, stunting disebabkan anak kekurangan gizi dalam dua tahun usianya, ibu kekurangan nutrisi saat kehamilan, dan sanitasi yang buruk.

Saat ini, prevalensi stunting di Indonesia adalah 21,6 persen, sementara target yang ingin dicapai adalah 14 persen pada 2024. Untuk itu, diperlukan upaya bersama untuk mencapai target yang telah ditetapkan, salah satunya dimulai dari unit terkecil dalam masyarakat, yakni keluarga.

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh orangtua agar dapat menghindari kejadian yang tidak diinginkan tersebut, salah satunya membangun ketahanan keluarga kita masing-masing.

Wakil Presiden RI, KH Maruf Amin pada Puncak Peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-30 Tahun 2023, di Sumatera Selatan (Sumsel), Kamis 6 Juli 2023, mengingatkan, masalah stunting bukan semata persoalan tinggi badan, namun yang lebih buruk adalah dampaknya terhadap kualitas hidup individu akibat munculnya penyakit kronis, ketertinggalan dalam kecerdasan, dan kalah dalam persaingan.

Kiai Ma'ruf Amin yang juga Ketua Dewan Pertimbangan MUI itu berpesan agar seluruh keluarga Indonesia terus meningkatkan peran untuk mewujudkan Indonesia bebas dari stunting.

“Maka pada peringatan Hari Keluarga Nasional ke-30 ini, saya titip kepada seluruh keluarga Indonesia untuk terus memperkokoh peranan keluarga dalam mencetak generasi penerus yang bebas stunting, fisiknya, mentalnya maupun kehidupannya. Kelak mereka menjadi generasi yang mampu mengguncang dunia, seperti yang diucapkan Presiden Soekarno,” pungkasnya.

Tentunya MUI turut berperan penting dalam membangun ketahanan keluarga muslim untuk mewujudkan generasi unggul dan berkualitas dengan mencegah anak terkena kekerdilan (stunting) dan permasalahan krisis keluarga lainnya.

Keberadaan Komisi Perempuan, Remaja dan Keluarga MUI, Gerakan Nasional Anti Narkoba (Gannas Annar) MUI, dan Pusat Dakwah dan Perbaikan Akhlak Bangsa (PDPAB) MUI menjadi garda terdepan dan strategis untuk menyinergikan upaya memperkuat ketahanan keluarga dengan landasan keimanan dan ketaqwaan, serta kepatuhan dalam menjalankan nilai-nilai ajaran Islam yang Rahmatan lil Alamiin.

Dalam upaya ini, Majelis Ulama Indonesia melalui lembaga-lembaga tersebut juga telah melakukan berbagai hal untuk memperkuat ketahanan keluarga muslim di Indonesia dengan melakukan berbagai edukasi melalui webinar, FGD, serta diskusi-diskusi yang bermanfaat. Selain itu, edukasi seminar bekerjasama dengan berbagai pemangku kebijakan dengan memberikan peluang dalam memperkuat ekonomi dan mental keluarga penting digencarkan.

MUI juga perlu mendorong upaya meningkatkan kualitas dan intensitas program bimbingan, penasihatan dan konseling bagi keluarga muslim agar mampu menghadapi berbagai krisis yang tengah dihadapi. 

*Penulis adalah Kepala Peliputan Kantor Berita MINA, yang juga Kepala Bidang Pengembangan Potensi Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) DKI Jakarta