Kapolda Papua Cukup Berani Ambil Peran Pemerintah Pusat

Kapolda Inspektur Jenderal Polisi Mathius D. Fakhiri/Net
Kapolda Inspektur Jenderal Polisi Mathius D. Fakhiri/Net

KETIKA ada penyanderaan warga negara asing dan jika dilakukan oleh kelompok yang ingin memisahkan diri, tentu selalu menjadi ranah atau domain dan kebijakan Pemerintah Pusat dalam merespon dan bertindak.


Apalagi jika ada negara lain yang warga negaranya disandera dan terus bersuara terhadap warga negara. Minimal ada upaya-upaya komunikasi para pihak sampai pada tingkat dialog atau perundingan sebagai jalan tengah dalam menyepakati harapan bersama.

Dalam pandangan demikian, maka sudah menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dalam merespon dan melakukan upaya-upaya penyelamatan. Terhadap kasus penyanderaan terhadap Marthens, pilot Susi Air, pemerintah terkesan dingin dan tidak serius menangani kasus tersebut.

Walau di media Jogja-Tribunnews, Presiden saat di Papua menyebutkan bahwa Pemerintah tidak tinggal diam. Malah yang terus intens adalah Kapolda Papua. Kapolda Fakhiri seakan menjadi Pemerintah Pusat.

Tentu banyak yang akan berpendapat bahwa Kapolda melakukan hal tersebut sudah harus dan itu sudah mewakili Pemerintah pusat. Padahal, urusan diplomasi dan lobby itu bukan urusan kepolisian. Kepolisian hanya dalam rana keamanan dan penegakan hukum, sementara TNI lebih pada pertahanan. Namun jika masuk rana lobi dan diplomasi sudah tentu bagian dari rana pemerintah. Dan jika itu berhubungan dengan penyanderaan orang asing, itu sudah masuk kewenangan pemerintah pusat.

Karena penyanderaan tersebut dilakukan oleh TPN/OPM (Tentara Pembebasan Nasional / Organisasi Papua Merdeka), mestinya itu masuk dalam keputusan seorang Presiden dalam merespon kasus penyanderaan tersebut. Bahkan ketika TPN/OPM menyatakan bahwa mereka akan membunuh sandera, Kapolda yang terus intens bangun lobi dan komunikasi bahkan melibatkan tokoh-tokoh agama untuk mencari solusi bersama.

Padahal, tuntutan TPN/OPM adalah “Perundingan”. Dan jika bicara perundingan, itu bukan domainnya Kapolda. Itu Domainnya kepala negara. Kapolda cukup berani mengambil resiko dalam mendorong upaya penyelamatan sandera dengan lobi-lobi dan komunikasi serta berusaha menawarkan tawaran yang bisa dilakukan Kapolda. Luar biasa, bahkan Presiden pun tidak bisa lakukan hal mengedepankan dialog/perundingan walau itu ranahnya, apalagi Kapolri atau pun Panglima.

Perundingan dalam Kebijakan dan Ruang Kewenangan

Tentu kita tahu bahwa tuntutan dari TPN/OPM adalah “perundingan”. Perundingan tersebut bisa terjadi hanya jika para pihak mau berunding. Untuk konteks Papua, para pihak adalah TPN/OPM (ULMWP) dan Pemerintah pusat. Sehingga, jika salah satunya tidak mau dan abai, maka proses tidak bisa dilaksanakan. Dalam soal ini, TPN/OPM justru menawarkan perundingan. Indonesia selain negara demokrasi, memiliki nilai dan konstitusi, punya pengalaman berunding dengan Aceh.

Pengalaman bisa dijadikan referensi, belum lagi  konstitusi yang restu digelarnya perundingan. Dan dalam semangat menyelesaikan masalah, mestinya pemerintah merespon dengan pendekatan perundingan. Mestinya Presiden mengangkat “Special Envoy”. Karena Kapolda Papua (Mathius Fakhiri) sudah menunjukan kerja-kerja nyata ke arah sana, Kapolda Papua bisa diangkat menjadi Special Envoy dan Presiden mengutus wakil Presiden sebagai penanggung jawab politik agar perundingan dilakukan.

Selain Presiden harus angkat special envoy adalah Mathius Fakhiri (Kapolda Papua), Presiden juga mesti berikan penghargaan karena telah berupaya keras melakukan pekerjaan pemerintahan yang mestinya itu bukan pekerjaan Kepolisian ataupun TNI. Apalagi, Kapolda Papua masih terus berusaha melakukan diplomasi dan lobi-lobi (antara tuntutan dan tawaran tidak sesuai dan hanya bisa dijawab pemerintah pusat soal tuntutan). Urusan diplomasi dan lobi adalah urusan sipil, sekali lagi, dalam hal ini adalah urusan pemerintahan pusat.

Presiden Hentikan Omong Doang, Lakukan Perundingan untuk Selesaikan Masalah

Presiden harus melihat bahwa ini masalah serius. Agar hal yang serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari, agar tidak ada lagi berbagai masalah, agar tidak ada lagi pelanggaran HAM, agar tidak ada lagi tindakan-tindakan kejahatan rasialisme.

Dialog/Perundingan sudah harus dibangun dan dilaksanakan oleh Presiden. Untuk pembebasan sandera (Pilot Marthens), perundingan menjadi kata kunci dalam menyelesaikan berbagai masalah tersebut, selain masalah-masalah lainnya.

Presiden sudah harus berhenti berkata kita tidak tinggal diam dan lain-lain. Bentuk dari kalau tidak tinggal diam tentu dapat dilihat dengan tindakan konkret, yakni: “Angkat special envoy dan tunjuk wakil presiden menjadi penanggung jawab politik” dalam menyiapkan perundingan dan agar perundingan dilaksanakan. Sekali lagi, Kapolda Fakhiri bisa jadi special envoy, jika pilihannya adalah dari TNI/Polri.

Aceh bisa jadi contoh, di mana SBY mengangkat Farid Husain menjadi special envoy dalam mempersiapkan perundingan. Kapolda Fakhiri bisa jadi special envoy dalam mempersiapkan tahapan perundingan, karena kerja-kerja konkret dalam proses lobi dan diplomasi terus dilakukan walau bukan kewenangannya, dan sudah dibuktikan. Sehingga harus diberikan kewenangan special envoy. Jika bukan TNI/Polri, “Haris Azhar atau Husman Hamid” bisa diangkat jadi special envoy untuk mempersiapkan tahapan perundingan. 

*Penulis adalah aktivis kemanusiaan