Musabaqah Gerejawi: Keragaman Simbolik

Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Al Makin/RMOL
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Al Makin/RMOL

JIKA melihat simbol-simbol dipanggungkan akhir-akhir ini di ruang publik dengan tanpa rasa takut dan kikuk, pastilah akan muncul rasa optimisme dalam hati tentang masa depan kebhinekaan di negeri ini. Tahun-tahun terakhir ini, simbol toleransi antar umat beragama mampu tampil ke depan dengan tanpa ragu-ragu.


Tentu banyak sikap dan tindakan nyata dalam kehidupan tetap diperlukan, karena itu intinya, praktek dalam kehidupan. Kebhinekaan dan toleransi adalah dua paduan konsep urgen yang harus menjadi kenyataan, tidak sekedar teori atau idealisme. Dimulainya dengan penampilan simbol-simbol merupakan langkah awal.

Indonesia secara resmi mencantumkan enam agama: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. Bagaimana simbol-simbol dari enam agama itu ditampilkan secara jujur, berani, tanpa ragu merupakan catatan tersendiri. Bahkan jika simbol enam agama itu diperlihatkan dengan sengaja di publik tanpa takut dan keraguan lagi, sebetulnya adalah prestasi.

Perjalanan jauh seribu mil, harus tetap dimulai dari satu langkah awal, begitu kata pepatah China lima ribu tahun yang lalu, dan terekam dalam Kitab Tao Te Ching. Simbol-simbol kebhinekaan, toleransi, keragaman di publik sudah bukan Langkah awal lagi, ini merupakan fondasi publik.

Penulis merasa beruntung dan bersyukur mempunyai kesempatan untuk turut menghadiri pembukaan Pesparawi (Pesta Paduan Suara Gerejawi) ke tiga belas di Candi Prambanan tanggal 19 Juni 2022.

Ini yang saya maksud sebagai penampilan simbol publik tadi. Penulis duduk di barisan ke dua di belakang Sultan Hamengkubuwono ke sembilan yang memberi sambutan hangat sebagai tuan rumah. Yogyakarta tahun ini menjadi tuan rumah Pesparawi. Sultan menyampaikan semangatnya dalam bahasa Jawa “sawiji greget sengguh ora mingkuh,” dalam bahasa Indonesia kira-kira bertekad satu dengan kesungguhan tanpa belok-belok.

Duduk disamping beliau adalah Wakil Menteri Agama yang mewakili Menteri Agama, dengan suara lantang berpantun di pangung dalam mengungkap simbol-simbol keragaman dan toleransi. Semangat Sultan itu ditekankan lagi oleh ketua panitia KGPAA Paku Alam Sepuluh dalam penutupan.

Secara simbolik, Kementerian Agama, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta sepekat dengan perayaan Pesparawi ini adalah tanda komitmen keragaman, toleransi, dan kerukunan antar umat beragama di Indonesia.

Kita umat Islam merayakan MTQ (Musabaqah Tilawatil Quran) ajang lomba bagi para qori (pembaca Al-Qur’an) terbaik. Lantunan ayat-ayat Qur’an itu dianggap seni, tidak hanya olah batiniyah dan kekhusukan mencari pahala secara ritual saja. Seni dan agama merupakan paduan yang elok dan membahagiakan. Umat Kristen dengan Pesparawinya, yang juga ungkapan seni dan agama.

Paduan gerejawi dan seni suara qira’ah banyak persamaannya. Rasa beragama diungkap dalam seni. Dan bacaan dan lantunan itu dinyanyikan dan dalam perlombaan demi pendidikan.

Ini merupakan nilai plus tersendiri, merayakan seni dalam beragama. Harapannya sekaligus merayakan keragaman toleransi umat beragama yang majemuk. Sedangkan lomba seni dalam semangat kekhusakan dalam Umat Katolik di Indonesia dengan Pesparani (Pesta Paduan Suara Gerajani) yang akan diselenggarakan di Kupang, NTT pada bulan September nanti.

Jika simbol dari tiga agama ini saja, yaitu MTQ, Pesparawi dan Pesparani, dengan bebas tampil di publik dan dirayakan bersama, secara simbolik, kebhinekaan dan toleransi telah berfondasi. Paling tidak semangat pemerintah terlihat dalam komitmen merayakan keragaman.

Memang masih pada level para pejabat, level selanjutnya adalah perayaan masing-masing umat menyokong satu dengan yang lainnya. Jika terjadi perayaan silang, saling merayakan antara ketiga ummat, ini sungguh luar biasa: MTQ, Pesparawi, dan Pesparani. Usaha perlu tindakan afirmatif lagi.

Penulis berbincang-bincang santai dengan Wakil Menteri Agama Dr. Zainut Tauhid dan Dirjend Plt Kristen Kementrian Agama Dr. Pontus Sitorus di warung soto Pak Soleh di Tegalrejo Yogyakarta. Tersirat dalam wajah mereka semangat toleransi antar umat beragama.

Secara simbolik keduanya merasa bahagia dalam penyelengaraan Pesparawi di Yogyakarta itu. Persiapan demi persiapan dan kerja keras panitia sudah lama dilakukan. Semangat hubungan antar iman juga menjadi topik diskusi rileks kami.

Sore hari sebelum pembukaan Sultan Hamengkubuwo X bersama kita dalam makan malam. Beliau juga optimis dalam penyelengaraan Pesparawi sebagai simbol toleransi. Dalam perbincangan santai itu, Dirjend Plt Katolik Albertus Magnus Adiyarto Sumardjono memang sengaja hadir di Pesparawi untuk persiapan Pesparani di NTT nanti. Ini sebuah perbandingan dan saling mempelajari yang adil. Wibowo Prasetyo, Staf Khusus Kementrian, juga menyampaikan optimisme dalam bahasa santai.

Perbincangan santai para pemangku negeri dan pemimpin pemerintahan memang sudah menyuarakan simbol-simbol toleransi dan keragaman. Pertanyaannya adalah bagaimana simbol-simbol pada level birokrasi dan administrasi ini diterjemahkan dalam tindakan nyata dalam level umat tanpa pemaksaan dan atas kesadaran kita semua. Perlu pendidikan yang panjang dan tidak mudah. Tetapi simbol ini adalah usaha yang baik.

Perlu dicatat, dalam pembukaan Pesparawi, pembawa acaranya mengenakan jilbab. Beberapa peserta pawai 34 propinsi yang melewati panggung di hadapan candi Prambanan juga berjilbab. Ini bisa dimaknai juga sebagai bentuk komitmen dari toleransi. Yang merayakan Pesparawi tidak hanya umat Kristen, tetapi umat Islam juga aktif serta.

Begitu juga dalam penutupan acara di JEC (Jogya Expo Center) juga dipenuhi dengan kios-kios yang ditunggui dengan gadis-gadis berjilbab. Optimislah dengan semangat toleransi Nusantara.

Selamat Kontingen Sumatera Utara sebagai juara umum Pesparawi, dan juga Provinsi Papua Barat sebagai tuan rumah Pesparawi selanjutnya.

*Penulis adalah Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta