Dapil Khusus: Dalam Era Otonomi Khusus Bagi Orang Asli Papua

Damianus Katayu/ Akademisi Pada Prodi Ilmu Pemerintahan STSIPOL Yaleka Maro Merauke
Damianus Katayu/ Akademisi Pada Prodi Ilmu Pemerintahan STSIPOL Yaleka Maro Merauke

Pemilu merupakan salah satu sarana utama untuk menegakan tatanan demokrasi yang berkedaulatan rakyat, yang berfungsi sebagai alat menyehatkan dan menyempurnakan demokrasi, bukan tujuan demokrasi. Di kebanyakan negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang, sekaligus tolak ukur dari demokrasi itu sendiri. Pemilihan Umum pasca reformasi dinilai paling demokratis, ada beberapa indikator, yakni kesuksesan penyelenggaraan pemilihan umum tersebut tidak lepas dari peran institusi non Negara bernama Komisi Pemilihan Umum (KPU).  Keberhasilan penyelenggaraan pemilihan umum oleh KPU yang relatif independen dan netral dari negara dan kekuatan politik, dengan sejumlah kecil pengecualian, telah mematahkan pemahaman stereo-typing mengenai ketidak-becusan kekuatan non-negara dalam mengelola politik.

Indikator lain adalah perubahan sistem pemilihan umum, dari sistem Proporsional Representasi (PR) menuju sistem pluralitas, yang juga di Indonesia disebut sebagai sistem distrik. Arend Lijphart (1995), menyebutkan, pertama; sistem pemilihan merupakan sesuatu yang penting dalam sebuah negara demokrasi perwakilan. Dan yang kedua, sistem pemilihan merupakan dimensi yang paling mudah diutak-atik dibandingkan dengan elemen lain dalam demokrasi, yaitu apabila seseorang hendak mengubah wajah demokrasi dalam sebuah negara, misalnya dengan mengubah sistem pemilihan dari sistem perwakilan berimbang menjadi sistem distrik (Gaffar, 1999). Pemilu juga merupakan parameter demokrasi, karena pemilu yang demokratis dapat memperkuat legitimasi dan kredibilitas pemerintah. Serta meningkatkan partisipasi politik masyarakat dari sikap apatisme yang disebabkan oleh kecurangan dalam pemilu itu. idealnya Robert Dahl menyebutkan kriteria pemilu yang demokratis, yang diklasifikasikan meliputi kriteria sebelum pemilihan, selama pemilihan dan setelah pemilihan. Konsep yang ideal, yang ditawarkan oleh Dahl perlu dikawal dengan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan pemilu yang demokratis.

Pemilihan umum tahun 2019 dilaksanakan secara serentak (concurrent elections) baik pemilihan legislatif maupun pemelihan eksekutif dilaksanakan secara bersamaan. Model pemilihan secara serentak (concurrent elections) seperti ini bukan merupakan sesuatu yang baru dalam sistem pemilihan umum, karena sistem ini juga telah telah dipraktekkan di negara-negara Eropa Bara, Amerika Serikat, maupun Amerika Latin bahkan di Asia, seperti di Philipina. Pemilihan secara serentak (concurrent elections), tentunya mempunyai kelebihan dan kekuarangan. Syamsuddin Haris, dkk (2019), mengatakan tujuan pemilu serentak hanya untuk sekedar penghematan biaya memang terjawab. Namun penyelenggaraan pemilu menjadi semakin rumit, konfigurasi politik menjadi tidak menentu, bahkan bisa jadi tidak muncul political blocking secara jelas dan dapat menyuburkan politik transaksional karena kebutuhan terhadap dukungan elektoral untuk memenangkan pemilu.

Namun terlepas dari sistem pemilu tahun 2019 yang telah ditentukan di Indonesia, sepertinya Indonesia sendiri masih mencari format sistem pemilu yang ada di beberapa negara di Eropa Barat maupun Amerika Serikat. Sehingga yang terlihat adalah di setiap pemilihan umum, sistem pemilu pun selalu saja berubah, dengan menguntungkan partai-partai besar. Dengan demikian berdampak pada ketidakpastian nalar politik masyarakat di tingkat bawah, masyarakat hanya dimandatkan untuk memberikan suaranya, dan selanjutnya penentuan kekuasaan ada di tangan para elit di tingkat pusat. Sejatinya dalam menentukan indikator demokrasi yang diwujudkan dalam Pemilu, pemilu sendiri merupakan sarana perwujudan nilai-nilai demokratisasi.

Membangun Demokrasi Lokal (Kesukuan)

Demokrasi tidak berada pada ruang yang kosong, dan tidak muncul begitu saja, tetapi ada sebuah kondisi sosial budaya, ekonomi maupun politik yang menghendaki perubahan, sehingga ruang tersebut memungkinkan demokrasi hadir. Pada tataran lokal, kebijakan desentralisasi dapat dibaca sebagai salah satu upaya konsolidasi demokrasi dari pusat sampai pada unit- unit lokal. Menurut George Sorensen bila ada demokrasi di tingkat nasional berarti ada demokrasi juga di tingkat lokal. Dalam kelompok-kelompok etnis juga memiliki tatanan nilai-nilai demokrasi yang disepakati melalui konsensus bersama. Misalnya model pemilihan sistem noken dengan bertumpu pada kepala suku (Big Man) sebagai penentu. Secara demokrasi, pemilihan dengan menggunakan noken merupakan simbol demokrasi lokal.

Demokrasi lokal yang didasari pada sistem sosial budaya masyarakat setempat.  Yance Arizona mengunkapkan bahwa model pemilihan dengan menggunakan sistem noken yang telah di tetapkan dalam putusan MK No. 47-81/PHPU.A-VIII/2009,  secara implisit dengan salah satu pertimbangan bahwa “Mahkamah Konstitusi dapat memahami dan menghargai nilai-nilai budaya yang hidup di kalangan masyarakat Papua yang khas dalam menyelenggarakan pemilihan umum dengan cara atau sistem “kesepakatan warga” atau “aklamasi”. Karena pada negara yang pluralistic seperti Indonesia, konstitusi juga harus mencerminkan watak dan praktik yang menghargai keberagaman social di dalam masyarakat. Gagasan inilah yang dikenal dengan konstitusi pluralis, yaitu gagasan yang menaruh perhatian terhadap keberagaman system social dan system hukum yang ada dalam suatu negara,.

Ikatan-ikatan kolektivitas, struktur sosial masyarakat yang masih terstratifikasi, antara orang yang dituakan (kepala suku/ketua adat) dengan masyarakatnya masih sangat erat, kepercayaan terhadap simbol-simbol. Nilai-nilai tersebut terdapat pada Orang Asli Papua, yang seketika itu dapat digunakan dalam arena pemilihan umum, artinya pilihan-pilihan politik Orang Asli Papua kerapkali didasari pada nilai-nilai yang disebutkan di atas. Penentuan pilihan politik berdasarkan nilai-nila tersebut bebas dari unsur paksaan atau intimidasi ataupula dengan bentuk lain, yakni politik uang (money politics).

Gagasan Daerah Pemilihan Khusus (DAPIL Khusus) bagi Orang Asli Papua yang awalnya diprakarsai oleh Saudara Frans Ciwe pada tahun 2018 di Kabupaten Merauke, menjelang pemilihan legislatif tahun 2019. Ide tersebut sebagai bentuk keperihatinan terhadap komposisi orang asli Papua pada DPR Kabupaten Merauke kian merosot, sisi lain sebagai bentuk proteksi dan keberpihakan kepada Orang asli Papua pada ruang politik. Hakekat penetuan daerah pemilihan khusus  adalah untuk memberikan kesempatan dan kepastian kepada caleg-caleg Orang Asli Papua untuk berkontestasi pada ruang atau DAPIL sesuai dengan sumber daya yang dimilikinya. Pertemuan pada tanggal 4 Mei 2018 yang dimotori oleh Ketua Pemuda Marid, di ruang rapat Kantor Bupati Merauke yang telah menghadirkan pembina politik, pimpinan-pimpinan partai politik, Ketua Komisioner KPU Kabupaten Merauke, LMA Marind juga unsur masyarakat, telah melahirkan konsensus bersama.

Gagasan tentang DAPIL Khusus yang telah merujuk pada Pasal 5, PKPU NO 16 THN 2017 Tentang Penataan Daerah pemilihan dan Alokasi Kursi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Dalam Pemilihan Umum, disebutkan bahwa prinsip kohesivitas yaitu penyusunan Dapil memperhatikan sejarah, kondisi sosial budaya, adat istiadat, dan kelompok minoritas. Secara khusus pada Lampiran 1.2 Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia No 296/PL.01.3-Kpt/06/KPU/IV/2018 Tentang Penetapan Daerah Pemilihan dan Alokasi Kursi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Kabupaten Kota di Wilayah Provinsi Papua Dalam Pemilihan Umum Tahun 2019, khusus Kabupaten Merauke, terdiri dari 5 daerah pemilihan. Maka berdasarkan konsensus yang disepakatii rancangan Dapil Khusus, terdiri dari:

Niat baik Pembentukan DAPIL Khusus yang didorong melalui konsensus bersama pada tanggal 4 Mei 2018 di ruang rapat Kantor Bupati Merauke, tidak ditindaklanjuti oleh pembina politik. Sehingga pertemuan pada tanggal 4 Mei 2018 tersebut hanya melahirkan “konsensus yang setengah hati”. Memang masih ada sisi lemah konsensus tersebut, karena tidak terdokumentasi dalam regulasi. Sisi lain tidak ada komitmen dari pimpinan-pimpinan partai politik, termasuk komitmen pembina politik untuk segera mendorong daerah pemilihan khusus tersebut. Misalnya dengan cara partai-partai politik tidak mendaftarkan caleg-caleg non Papua pada dua daerah pemilihan yang telah disepakati melalui konsensus bersama. Implikasi konsensus yang setengah hati tersebut terjadi tarung bebas antar caleg-caleg Papua dan non Papua pada 5 daerah pemilihan, maka yang terjadi adalah “no money, no vote”.

Ada banyak alasan yang melatarbelakangi semakin merosot jumlah keterwakilan orang asli Papua pada DPRD Kabupaten Merauke, pertama; lemahnya tingkat kepercayaan dari para pendukung (konstituen) terhadap para caleg Papua, kedua; keterbatasan sumber daya (ot) yang dimiliki oleh caleg Papua. Katayu dalam makalah “Perempuan Papua Dalam Ruang Demokratisasi  Pada Pemilu 2014 Di Kabupaten Merauke”, menjelaskan untuk menyelamatkan wajah perempuan Papua di Parlemen Merauke nanti, harus dibangun pemikiran radikal positif, yaitu perempuan Papua memilih caleg perempuan Papua itu sendiri. Karena undang-undang tidak memberikan kontribusi kuat bagi 30% perempuan di parlemen, sehingga hal itu mungkin bisa disiasati.

Maka ada kekhawatirannya dalam pemilihan 2014, pasti pada posisi pemilih perempuan Papua memilih caleg perempuan Papua sangat kecil bahkan tidak mungkin. Bila dibandingkan dengan pemilih perempuan Papua memilih caleg perempuan non Papua lebih berpeluang. Fenomena ini disebabkan oleh beberapa faktor juga, diantaranya; tidak ada uang, tidak ada suara, isu-isu klasik yang menstigmanisasikan perempuan Papua. Dan tingkat kepercayaan diri, untuk tampil di depan publik dalam sosialisasi politik dalam diri perempuan Papua itu sendiri. Sisi lain sistem pemilu di Indonesia masih mengandalkan ikatan-ikatan kolektivitas, ras, sex dan agama, akan sangat merugikan bagi kelompok-kelompok minoritas. Karena ada korelasi antara jumlah pemilih dengan perilaku pemilih, sementara data sensus Pendataan Sosial Demografi Papua (PSDP) kerjasama Bappeda Litbang Kabupaten Merauke dan BPS Kabupaten Merauke pada tahun 2017, menunjukan jumlah orang asli Papua 23, 76 % bila dibandingkan dengan jumlah penduduk non Papua 76, 24 %.

Sehingga kecenderungan perilaku pemilih Papua memilih caleg Papua sangat kecil, bila dibandingkan dengan pemilih Papua memilih caleg non Papua sangat berpeluang. Dilain pihak pemilih non Papua memilih caleg Papua sangat kecil, bila dibandingkan dengan pemilih non Papua memilih caleg non Papua itu sendiri. Maka ada kekhawatiran jumlah anggota DPRD Kabupaten Merauke khusus orang asli Papua pada pemilihan umum tahun 2024 nanti sangat minim, dari jumlah yang ada sekarang. Yang menjadi catatan, perjuangan DAPIL Khusus bukan untuk menambah kuota, tetapi untuk mengisi kuota yang telah tersedia, karena jika menambah kuota, pasti tetap ada kesenjangan.   

 

Realitas Politik Orang Papua di Parlemen Merauke Paskah Reformasi

Otonomi Khusus Papua yang bergulir pada era reformasi adalah bagian dari penguatan identitas Papua yang selama itu diabaikan begitu saja. Amanat undang-undang tersebut memberikan kesempatan kepada masyarakat Papua untuk lebih mengambil peran dalam ruang-ruang publik. Papuanisasi birokrasi yang pernah digagas oleh Jopari adalah adalah dari amanat OTSUS, untuk itu tidak hanya sebatas Papuanisasi birokrasi saja tetapi Papuanisasi politik harus juga dilakukan. Artinya masyarakat Papua juga harus diberi kesempatan atau ruang untuk menentukan dan menduduki posisi-posisi penting dalam bidang politik. Perlu diakui bahwa wajah Papuanisasi politik di Papua sebetulnya sudah terjadi, jabatan-jabatan politik telah dijabat oleh elit-elit Papua, misalnya jabatan bupati dan wakil bupati.

Tetapi sayangnya persyaratan bupati dan wakil bupati orang asli Papua hanya sebatas “politik moral”, belum terdokumentasi dalam amanat aturan. Prasyarat politik moral ini telah melahirkan multitafsir dikalangan masyarakat, yang berujung pada aksi penolakan, bahkan konflik. Beberapa kasus terjadi, seperti demo aksi penolakan calon bupati non Papua yang terjadi di Merauke dan Boven Digoel. Maka syaratnya harus jelas seperti calon gubernur dan wakil gubernur Papua, yang telah diamanatkan pada pasal 12 UU No 21 Tahun 2001 Tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua. Papuanisasi politik pada lembaga DPR di Kabupaten Merauke selama penerapan otonomi khusus, hanya sebatas angan yang tak kesampaian, dari data yang tersaji dapat disimpulkan belum ada langkah strategis yang dilakukan untuk menyelamatkan orang asli Papua pada Parlemen.

Sesungguhnya ruang untuk Papuanisasi Politik orang asli Papua di parlemen telah diamanatkan dalam undang-undang otonomi khusus pasal 28, dari sisi kelembagaan politik; dapat dibentuk partai politik lokal dengan keikutsertaan dalam pemilihan umum. juga melalui mekanisme pengangkatan 14 kursi otsus pada DPR Papua, representatif dari 5 wilayah adat di Provinsi Papua. Wilayah adat Lapago sebanyak 4 kursi, Mepago 3 Kursi, Saireri 2 kursi, Ha Anim 2 kursi dan Mamta 2 kursi. Mekanisme pengangkatan yang baru berjalan 2 priode, yakni 2016-2019 dan 2019-2024, disinyalir terjadi tarik menarik kepentingan dalam penentuan kuota 14 kursi tersebut. Juga dipandang tidak representatif karena tidak ada keterwakilan unsur perempuan dalam mekanisme pengangkatan tersebut.

Sementara dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provtnsi Papua, khususnya dalam pasal 6A juga telah dimuat tentang pengangkatan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK). Mekanisme pengangkatan harus untuk mengisi kuota yang telah tersedia, bukan menambah kuota baru. Sehingga minimal komposisi tersebut bisa sebanding dengan anggota DPRK non Papua. Mekanisme pengangkatan di tingkat kabupaten harus diatur dengan persyaratan yang ketat, sehingga bisa mengakomodir kepentingan orang asli Papua dalam kursi parlemen.

Penulis adalah Dosen Pada Prodi Ilmu Pemerintahan STSIPOL Yaleka Maro Merauke