Perjuangan Atas Nama Bomi Sai di Wilayah Marori

Penulis Adalah Seorang Budayawan Intelektual Suku Marind
Penulis Adalah Seorang Budayawan Intelektual Suku Marind

Kita dapat mengambil contoh soal penggunaan gedung Bomisai, istilah Bomisai (Rumah Semut) ini merupakan sebutan dalam bahasa Marind tetapi penggunaan ini berada pada wilayah Suku Marori.

Jika menggunakan kewilayahan untuk penanaman apakah bisa menjadi bagian dari produk hukum baru dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda)?

Apakah Keniscayaan itu ubah untuk merekonstruksi mengenai gagasan pengetahuan kesukuan yang berada di tempat tersebut?

Memang nama bukan sesuatu yang prioritas, tetapi persoalan nama memberikan ruang bagi pemerintahan bagi ingatan lokal kita.

Selalu ada istilah kampung lokal tetapi rasa lokalnya hilang dari pengetahuan lokal yang menaungi itu, pengetahuan lokal akan hilang serta pendekatan-pendekatan loka.

Gagasan kearifan lokal harus kembali dihidupkan dan dikembalikan dengan memperhatikan beberapa hal berikut ini:

Pemberian nama Jalan, Usaha kecil yang dibangun di kampung Wasur untuk mempresentasikan kepemilikan nama lokal dengan tempat serta orang-orangnya adalah dengan pemberian nama jalan.

Memang agak susah membangun pemahaman terutama antara generasi soal nama jalan.

Orang akan dengan muda berbicara tentang tinggal di Wasur Jalur 1, 2, atau 3 tetapi masih sulit mengungkapkan bahwa di jalur 1, 2, dan 3 itu ada nama lokalnya.

Misalnya jalur 1 yang memiliki nama lokal jalur Mbolipu, guna menggambarkan jika pada jalur tersebut ada sebuah sumur tua bernama Mbolipu.

Pengetahuan kewilayahan harus dihidupkan, perubahan generasi gadget akan selalu punya implikasi serius terkait dengan ingatan ingatan sejak awal pertumbuhan dengan pengetahuan lokal karena kita sudah hilang dalam penggunaan bahasa ibu yang diakibatkan transmisi yang rendah sehingga pengetahuan spasial (Pengendalian Ruang) akan hilang.

Situs sejarah kampung akan hilang jika penandaan nama dihilangkan dengan sendirinya ingatan tentang itu akan hilang juga.

Misalnya anak-anak kampung khusus diwasur tidak akan ingat dengan hubungan sumur Wosul yang memiliki kaitan erat dengan kehadiran masyarakat wasur kampung.

Selalu jadi bahan renungan kita belajar di sekolah seolah-seolah kita tercerabut dari akar budaya kita sendiri.

Anak akan paham mengenai sejarah dunia ketimbang sejarah perpindahan leluhur mereka.

Apa yang menyebabkan leluhur tidak menjadi sesuatu yang penting dalam ingatan kita.

Ini akan menjadi tantangan tersendiri sebab kita sedang resiliensi diri kita maka degan sendirinya perspektif itu akan hilang, lalu transmisi apa yang akan kita wariskan?

Kita bisa hafal Mesopotamia dan sungai Efrat tetapi kita lupa bahwa sejarah batas wilayah kesukuan masih tidak hafal dengan baik.

Penulis Adalah Budayawan Intelektual Suku Marind, (Agustinus Mahuze)