Papuanisme Melalui Cendrawasih 

Ilustrasi Burung Cendrawasih/ Net
Ilustrasi Burung Cendrawasih/ Net

Penulis: Marthen Luter Wambarop Tokoh intelektual muda Boven Digoel

Modernisasi kadang tidak lahir di tanah subur, dan inilah yang mungkin sedang terjadi di berbagai Negara termasuk Indonesia. Indonesia merupakan Negara gugusan (kepulauan) terbesar di dunia sehingga perlu dibanggakan dalam bentuk apapun termasuk kritik dan otokritik. Negara Indonesia pun memiliki beragam kekayaan budaya dan itu terbentang dari Sabang sampai Merauke, seyogyanya harus dijaga dan perlu dihargai oleh semua etnik sebagai sesama anak bangsa. 

Keragaman inilah menjadi ciri khas oleh setiap suku dan sub suku bangsa yang mendiami nusantara termasuk Papua. Pulau Papua tentunya terlibat langsung dalam proses transformasi, indikator ini terlihat jelas ketika Plato (Platon) filsuf Yunani, menyebutkan bahwa disana (Daratan Melanesia) ada daerah yang bertabur matahari. 

Tentu yang dimaksudkan Plato adalah daerah yang memiliki sumber daya alam berlimpah (Labadios). Sumber daya alam seringkali menjadi bagian yang aktif untuk merepresentasikan eksistensi manusia ketika manusia terbatas untuk menyampaikan keterbatasannya. Salah satu fasilitas alam yang diselundupkan ke dalam budaya bagi manusia Papua adalah Burung Cendrawasih. 

Burung Cendrawasih tidak cukup di senderhanakan sebagai hewan endemic, lebih dari itu. Begitu banyak cita rasa manusia Papua di dalam sanubari hanya dimengerti dan dapat diucapkan oleh Burung Cendrawasih. Burung Cendrawasih akan dijadikan sebagai satu-satunya souvenir (souvenir) ketika pagelaran Pekan Olahraga Nasional (PON) di provinsi paling timur dan paling pertama merasakan sengatan mentari pagi ketika jendela bumi terbuka. 

Hal inilah yang mengkhawatirkan manusia Papua, bahwasannya Burung Cendrawasih yang telah dikategorikan sebagai hewan endemic ini keberadaannya sangat disayangkan. Karena secara hukum formal pemerintah provinsi Papua hanya menjaga hewan endemic ini dengan menerbitkan Surat Edaran Nomor 660.1/6501/SET tanggal 5 Juni 2017 tentang larangan penggunaan burung  Cenderawasih sebagai aksesoris dan cenderamata. 

Tetapi tidak pada posisi history dan budaya manusia Papua dan di tetapkan sebagai sebuah kebijakan tetap. Seandainya manusia Papua berpikir optimis dan menerima burung Cendrawasih dijadikan tanda mata untuk diberikan kepada pelaku PON Papua. Tentu baik demi nilai-nilai budaya dan nasionalisme yang dalam. Kendati demikian, andaikata logikanya di balik, misalnya PON diselenggarakan di provinsi Jambi, apakah harus diberikan Harimau Sumatera, atau diselenggarakan di provinsi Lampung maka harus diberikan Gajah Sumatera, atau provinsi Banten dengan fauna identitasnya Badak Jawa, atau PON terlaksana di provinsi NTT dengan fauna identitasnya Biawak Komodo. 

Dan seluruh fauna identitas tersebut diberikan ketika telah mencukupi umur selayaknya burung Cendrawasih. Pekan Olahraga Nasional merupakan momentum dan tidak sekedar event nasional sehingga sangat perlu untuk memperhitungkan nilai dan norma yang terkandung di daerah tersebut. 

Paralel dengan situasi kekinian ada beberapa cabang olahraga akan dilakukan di bagian selatan pulau Papua yakni kabupaten Merauke. Penghidupan di kabupaten yang terkenal dengan kota Rusa itu sangat plural, namun tidak mengelak bahwa suku (masyarakat) asli adalah suku Malind Anim. Masyarakat Malind Anim dalam perkembangan semakin tergilas dan terisolir bahkan miskin diatas tanah leluhur mereka. 

Apakah merupakan dampak dari Resource Curse (kutukan sumber daya alam) atau ada kecurigaan lain yaitu lebensraum. Namun dengan momentum inilah merupakan kesempatan yang sangat berharga pada suku Malind Anim untuk menunjukan kepada Nusantara bahwa mereka masih siap menjaga dan melindungi tanah leluhur mereka dengan Tari Gatzi.

Sehingga perlunya kesadaran dan perhatian khusus oleh empat kabupaten di selatan Papua bahwa Goyang Patola sangat tidak relevan dengan nilai dan norma budaya setempat. Tentu secara teoritis banyak referensi yang dapat diartikulasikan; misalnya akulturasi, adisi, sinkretisme, substitusi, dekulturasi, rejeksi, dan apropriasi. Sehingga merasa penting untuk melihat dan mempertimbangkan culture standing agar mendapatkan rujukan bahwa, kegiatan tersebut adalah penggabungan budaya (akulturasi), atau peminjaman budaya (apropriasi) dan lain sebagainya. 

Oleh karenanya setelah momentum dan event pekan olahraga nasional ini berakhir pemerintah di selatan Papua harus lebih intens memperhatikan manusia lokal dengan berbagai regulasi yang mengikat. Karena agenda pemekaran provinsi Papua selatan sebentar lagi akan berlangsung, otonomi khusus jilid II, 4.0 ke 5.0, dan bonus demografi. Dan  semuanya adalah agenda nasional demi berbagai perkembangan dan tentunya dipaksakan oleh perubahan iklim dunia. Papua selatan menjadi salah satu titik sentral seluruh kepentingan Negara sehingga akan sangat berpengaruh pada tatanan hidup masyarakat lokal. Perlu beberapa rujukan guna mengantisipasi dan menjaga konsekuensi daripada laju perkembangan  maka, empat kabupaten  di selatan Papua sudah seharusnya rekonsiliasi dan  memintah kepada pemerintah pusat untuk memberikan afirmasi politik. Jika tidak demikian maka akan sangat mempengaruhi warna pemetaan secara nasional yang diharapkan bersama.

Penulis adalah Marthen Luter Wambarop yang merupakan Tokoh intelektual muda Boven Digoel.