Penjabat Kepala Daerah dan Good Governance

ilustrasi/Net
ilustrasi/Net

KONSEP desentralisasi dalam negara tentu melahirkan kebijakan-kebijakan daerah yang dikepalai oleh penjabat daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah.


Dalam konteks kepemimpinan penjabat kepala daerah, tentu keterlibatannya dalam mewujudkan daerah yang teratur dan tertata sejalan dengan visi dan misi pemerintah pusat merupakan poros utama dalam stabilitas teritorialnya.

Bila merujuk pada tujuan desentralisasi yakni upaya pembagian domain wilayah pusat dan daerah agar terwujudnya suatu pemerintahan yang demokratis, melalui pelayanan masyarakat yang efektif, efisien, dan ekonomis.

Maka, good governance atau pemerintahan yang baik dan cakap tentu akan lahir dari sebuah sistem yang sehat dan terlaksananya idealitas dan cita-cita yang dibangun berdasarkan kebutuhan dan jawaban atas tantangan.

Kedudukan kepala daerah, adalah sebagai penyelenggara urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi ini merupakan landasan kerja yang sepatutnya dijalani sebagai kepala daerah.

Maka, berangkat dari tujuan desentralisasi dan kedudukan kepala daerah, maka good governance merupakan akibat dari terjalinnya harmonosasi dari terlaksananya tujuan desentralisasi secara keseluruhan sejalan dengan asas kepemimpinan yang bersih dan proporsional sebagai kepala daerah secara berkesinambungan.

Good Governance secara terminologis merupakan suatu peyelegaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, dengan menghindari penyelewengan dana dan kekuasaan serta pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif dengan menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan politican framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.

Akan tetapi, dalam penerapannya seringkali tidak secara keseluruhan terlaksana kadangkala satu dua bahkan lebih faktor masih menjadi PR bagi otoritas daerah, dan tentu tidak mudah.

Bila menengok Indonesia, bagaimana good governance berlangsung, maka pada pelaksanaannya, Indonesia belum mencapai idealitas good governance itu sendiri.

Masih banyak terjadi penyimpangan kekuasaan, kasus korupsi justru lahir dari rahim penjabat daerah yang notabenenya sebagai elite daerah yang berpotensi maju menjadi eksekutif pusat.

Good governance pada prinsipnya setidaknya ada 9 di antaranya adalah: Partisipasi Masyarakat (participation), tegaknya supremasi hukum (rule of law), transparansi (transparency), peduli pada stakeholder/dunia usaha, berorientasi pada konsensus (consensus), kesetaraan (equity), efektivitas dan efisiensi (effectiveness and efficiency), akuntabilitas (accountability), visi strategis (strategic vision).

Bila merujuk pada prinsip, dalam tulisan ini cukup membahas 3 prinsip saja dalam menimbang dan menguji seberapa jauh pemerintah menjalani dan mencapai prinsip good governance ini.

Bila mengintip daerah di Indonesia, sebutlah salah satu yang terbesar adalah DKI Jakarta, tentu jauh dari kata ideal seperti terpenuhinya 9 kriteria good governance, berbicara bagaimana partisipasi masyarakat di Jakarta sendiri tidak memberikan contoh yang baik terhadap tahap masyarakat madani yang demokratis, masih terjebak pada sekat-sekat vertikal yang tercipta.

Belum lagi pembelahan politik yang tak memberikan dampak sejahtera bagi masyarakat, justru memberikan efek acuh tak acuh masyarakat terhadap kebijakan sosial yang diputuskan.

Mereka hanya peduli bagaimana keseriusan pemerintah daerah tapi tak mau terlalu dalam mengawal dan mengawasi kinerja kepala daerah sebagai proses check and balances sebagai dinamika demokrasi.

Kemudian poin kedua, pun sejalan dengan prinsip supermasi hukum memang sulit ditemukan di daerah-daerah di Indonesia, bila pemerintah pusat tidak memberikan contoh yang baik.

Beberapa kasus yang kita lihat sebagai sebuah fenomena kecacatan hukum terus dirawat oleh negara, seperti dalih pembelaan terhadap narapidana korupsi Brotoseno yang terlibat dalam kasus korupsi AKBP, dikabarkan kembali aktif jadi polisi.

Kini dia bekerja sebagai staff di Divisi Teknologi, Informasi, dan Komunikasi (TIK) Polri. Dan pembelaan atasnya diberikan karena ia berprestasi. Akan tetapi Indonesia Police Watch (IPW) menilai Polri telah melanggar aturan.

AKBP Brotoseno diduga aktif kembali menjadi penyidik di Direktorat Siber Bareskrim Polri.

Meski sebelumnya ia telah dihukum dengan hukuman penjara selama 5 tahun dan denda Rp 300 juta karena terlibat korupsi.

AKBP Brotoseno ternyata tak pernah dipecat dari anggota Polri selama ini. Ia hanya dijatuhi sanksi berupa permintaan maaf dan demosi.

Dari kasus ini tentu, supermasi hukum akan jauh dari pelupuk, bila bercermin dari penegak hukum nya saja sudah tak konsisten dan  berprinsip.

Kemudian poin terakhir yang akan dibahas yakni transparansi, dalam konteks kepala daerah, maka transparansi penting dalam tercapainya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, baik dari berbagai penyelewengan dana maupun kekuasaan.

Akan tetapi mewujudkannya tak hanya membutuhkan keteguhan dari karakter diri pemimpinnya dalam hal ini adalah kepala daerah, akan tetapi ekosistem yang menjadi siklus dan ritme pemerintahan yang selama ini bergulir perlu menjadi indikator stabilitas pemerintahan.

Sebab pada teknisnya, kepala daerah tidak mungkin sendiri butuh partner, bawahan hingga masyarakat dalam mewujudkan transparansi pemerintahan ini. Bayangkan bila kepala daerah yang dipilih memang betul-betul baik secara pribadi, akan tetapi lingkungan dalam kerja dan menjalankan tugasnya banyak godaan dan tantangan.

Dalam contoh kecil berbuat jujur saja sangat susah, maka inilah yang menjadi soal. Misalnya dalam satu daerah di Indonesia terlibat dalam sebuah penyelewengan kekuasaan pada periode sebelumnya. Maka kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah tentu akan luntur, bahkan hilang sama sekali.

Bila ini terjadi akan merusak stabilitas tentunya, belum lagi, penyelewengan dana yang menjadi kultur. Kemudian transparansi yang tidak terlaksana bahkan cenderung culas ini diwariskan. Maka siapa pun pemimpinnya, pada ekosistem inilah justru akan lahir bad governance, yang terus-menerus berkembang biak, maka aspek utama adalah sistem.

Sistem merupakan kata kunci dalam tercapainya human/personal yang amanah dan bertanggung jawab. Pada konteks ini, maka konsep good governance akan diuji, seberapa jauh menuntut human dalam hal ini adalah pelaku atau penyelenggara pemerintahan, baik pusat maupun daerah itu mampu menjalani tugasnya sebaik mungkin.

Kembali pada pembahasan fungsional dan struktural kepala serta penjabat daerah, maka good governance lahir dari rahim penjabat daerah yang cakap dan bertanggung jawab, tentu tidak diuji dengan citra dari kreativitas tim belakang layar, tidak diuji dengan cakapnya membangun framing di media, tidak diuji dengan seberapa matang pengalamannya dalam memimpim suatu daerah.

Akan tetapi dengan terjalaninya 9 prinsip good governance secara keseluruhan dan berkesinambungan, maka baik daerah maupun pusat, pemerintah akan menjadi sosok yang mengayomi, bukan mengkhianati bahkan mengancam rakyat dengan pasal-pasal membungkam, apalagi menerkam.

Dan tak hanya membutuhkan prinsip, dalam pelaksanaannya tentu tercapai 9 prinsip ini akan sangat sulit. Membahas politik bersih saja adalah hal yang tabu di sistem operasi pemerintahan yang kotor dan culas, maka pembenahan bukan saja pada karakter seorang pemimpin, akan tetapi pembenahan dan transisi sistem yang kotor dan culas ini menuju pemerintahan yang bersih dan sehat perlu dilakukan.

Sebab konsep good governance sudah disuarakan pada masa reformasi, sedangkan pilkada pemilu sudah berlalu cukup lama sejak reformasi digelorakan, akan tetapi berlangsung dengan siklus yang begitu-begitu saja, tak bawa perubahan berarti, hanya berubah nama dan warna politik saja setiap pasca tahun kontestasi politik, kampanye-kampanye yang lalu sebelum mereka diangkat hanya menjadi artefak dikenang di benak rakyat tak mampu direalisasikan.

Maka pada dasarnya sistem operasi inilah yang masih menggunakan cara yang sama, culas dan kotor, pemimpin yang pandai berbohong dan tebar janji.

Maka tentu saat ini waktunya rekontruksi nyata dari mereka yang terpilih menjadi penjabat, demi tercapainya good governance yang sebenar-benarnya.

Wallahu a'lam bisowab.

Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta