Pesan Satu Hati Fukuda-San

istimewa
istimewa

YASUO Fukuda mewarisi kecintaannya pada ASEAN dan Indonesia dari ayahnya, Takeo Fukuda.


Sang ayah adalah Perdana Menteri Jepang dari tahun 1976 sampai 1978. Fukuda Sr. dikenal sebagai pencetus “Doktrin Fukuda” yang menegaskan posisi Jepang sebagai negara yang mencintai perdamaian dan tidak akan pernah menjadi kekuatan militer (lagi). Di dalam doktrin yang dilahirkan di Manila tahun 1977 itu Fukuda Sr. juga menegaskan komitmen Jepang membangun kerjasama dengan negara-negara ASEAN.

Doktrin Fukuda didasarkan pada keinginan Jepang menjadi anggota masyarakat dunia yang ikut menjaga perdamaian dunia pasca Perang Dunia Kedua. Semangat itu dipatri pada Pasal 9 Konstitusi 1950 yang menyebutkan Jepang dengan tulus bercita-cita menciptakan perdamaian internasional berdasarkan keadilan dan ketertiban. Karena itu Jepang meninggalkan perang sebagai hak kedaulatan bangsa dan meninggalkan ancaman penggunaan kekerasan sebagai cara menyelesaikan perselisihan internasional.

Juga disebutkan di dalam bagian kedua Pasal 9 itu bahwa untuk mencapai perdamaian dunia, Jepang tidak akan mempertahankan instrumen militer dan tidak mengakui hak negara untuk berperang.

Doktrin Fukuda berhasil mendekatkan Jepang dengan negara ASEAN, utamanya Indonesia di mana gelombang anti investasi asing sempat mengganggu hubungan kedua negara tiga tahun sebelumnya.

Di bulan Januari 1974 demonstrasi besar-besaran terjadi di Jakarta. Mahasiswa menolak kunjungan Pedana Menteri Tanaka Kakuei. Di hari kedua kunjungan PM Tanaka, (sebagian) Jakarta terbakar oleh peristiwa Malari. Di hari terakhir kunjungan, Perdana Menteri Tanaka terpaksa berangkat dari Bina Graha ke Bandara Kemayoran dengan menggunakan helikopter untuk menghindari serbuan kelompok demonstran. Dari Bandara Kemayoran, Perdana Menteri Tanaka kembali ke negeri sakura.

Tahun 2007 sampai 2008 giliran Yasuo Fukuda mengikuti jejak ayahnya menjadi Perdana Menteri Jepang. Ini adalah masa-masa yang krusial di kawasan. Republik Rakyat China mulai memperlihatkan taringnya. Meningkatkan anggaran militer berkali-kali lipat setelah mengamankan jalur distribusi energi dari Timur Tengah (string of pearls). Beberapa tahun sebelumnya Beijing telah menjalin hubungan erat dengan ASEAN dalam CAFTA 2003 yang memberikan kesempatan luas kepada China untuk membanjiri negara-negara Asia Tenggara dengan produk-produk mereka.

Setahun setelah Fukuda Jr. turun dari jabatan Perdana Menteri, China memperlihatkan wajah baru negeri panda kepada seluruh dunia. Olimpiade berlangsung meriah dan sukses. Bonusnya, China berhasil menggeser dominasi Amerika Serikat di bidang olahraga. Lalu di tahun berikutnya China mengklaim (kembali) Laut China Selatan (nine-dashed lines) serta merebut pulau-pulau atol yang lama tak tersentuh karena jadi sengketa sejumlah negara ASEAN. Pulau-pulau itu seperti disulap menjadi pangkalan militer.

Di saat bersamaan industri militer China menggeliat sedemikian rupa, di darat, laut, dan udara. Kini dengan One Belt One Road (OBOR) yang diperkenalkan Presiden Xi Jinping pada 2012 dan kemudian menjadi Belt and Road Initiative (BRI), China seakan unstoppable. Pengaruhnya kian meluas. Melintasi batas-batas maya kawasan dan benua.

Termasuk di Indonesia, misalnya, China beberapa waktu lalu sukses menggulung Jepang saat merebut proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang kini bermasalah itu.

Dominasi Jepang di Indonesia mulai tergeser digantikan China yang kini menjadi investor terbesar kedua. Badan Pusat Statistik (BPS) mulai mencatat investasi China di Indonesia pada tahun 2015, sebesar 628 juta dolar AS, lalu meroket di tahun berikutnya sebesar 2,2 miliar dolar AS. Di tahun 2022 lalu nilai investasi China di Indonesia tercatat sebesar 8,2 miliar dolar AS.

Bandingkan dengan investasi Jepang yang mengalami penurunan, dari 5,4 miliar dolar AS di tahun 2016, dan di tahun 2022 yang lalu tercatat sebesar 3,5 miliar dolar AS.

Kebangkitan China membuat Jepang gelisah. Kedua negara segera terbawa kembali ke persaingan di masa lalu yang puncaknya adalah perang China-Jepang dari tahun 1894 sampai 1895. Dalam pertarungan di masa itu, di puncak Restorasi Meiji, Jepang dapat memukul Dinasti Qing dengan mudah. Setelah menjejakkan kaki di Semenanjung Korea, balantera Jepang merengsek ke Manchuria, merebut pelabuhan kunci milik China di Liaodong dan Weihai, sebelum akhirnya merebut Formosa atau Taiwan.

Sementara di awal kebangkitan "China baru" kali ini, Jepang tak lagi punya balatentara yang dapat diandalkan. Pasukan beladiri rasanya akan mati konyol bila berhadapan dengan pasukan China. Pasal 9 Konstitusi 1950 membuat mereka tak boleh memukul lebih dahulu. Mereka hanya diperbolehkan bertahan.

Agar tak jadi sitting duck, di sektor pertahanan Jepang mulai bernegosiasi dengan Amerika Serikat, meminta agar Pasal 9 Konstitusi 1950 yang membelenggu kaki mereka dapat dihapuskan. Pembicaraan berlangsung alot sampai akhirnya di tahun 2014, Washington DC yang merupakan arsitek Konstitusi itu pun sepakat untuk memberikan penafsiran ulang pada Pasal 9 Konstitusi.

Kini Jepang boleh memiliki kekuatan militer reguler bila itu diperlukan untuk mencegah kesewenang-wenangan aktor lain.

Aksi unilateral yang kerap dilakukan China, seperti melanggar UNCLOS 1982 dan mengklaim Laut China Selatan sebagai perairan tradisional mereka, patut dinilai dapat mengganggu perdamaian dunia yang bagaimanapun juga membutuhkan penghormatan pada hukum-hukum internasional yang ada dan mengikat. Perimbangan kekuatan militer, berkaca pada Perang Dingin, bisa bermanfaat untuk mencegah konflik yang lebih besar dan mematikan.

Di sisi lain, izin penafsiran ulang itu dapat dibaca bahwa sejatinya Paman Sam pun grogi menghadapi kebangkitan China. Kaki-kaki di kawasan harus diperkuat lagi. Premis-premis untuk menjaga perdamaian pun kembali direkonstruksi.

Dalam setting geopolitik inilah Kaisar Naruhito dan Permaisuri Masako berkunjung ke Indonesia. Mereka tiba di Jakarta hari Sabtu kemarin (16/6). Kunjungan Kaisar Naruhito dan Permaisuri Masako dijadwalkan berlangsung satu minggu. Selain Jakarta, Kaisar Naruhito dan Permaisuri Masako akan berkunjung ke kota-kota lain di Pulau Jawa, termasuk Bogor dan Jogjakarta.

Ini kunjungan istimewa yang tidak biasa. Dari sisi waktu dan durasi. Indonesia menjadi negeri kedua yang dikunjungi Kaisar Naruhito setelah dinobatkan sebagai kaisar Jepang pada 1 Mei 2019 lalu. Kunjungan pertamanya adalah ke Inggris untuk menghadiri pemakaman Ratu Elisabeth bulan September tahun lalu.

Bayangkan, kata Fukuda Jr. dalam jamuan makan malam di Hotel Kempinski tadi (Senin, 19/6), dari hampir 200 negara di dunia, Kaisar Naruhito dan Permaisuri Masako memilih berkunjung ke Indonesia.

“Ini kejadian yang sangat jarang, dan memperlihatkan betapa Kaisar menghargai Indonesia,” ujar Fukuda-san.  

Apakah kunjungan itu adalah bagian dari upaya merespon perubahan lingkungan internasional? Apakah Jepang sedang menunggu angin perubahan di Indonesia?

Fukuda Jr. yang juga Ketua Perhimpunan Persahabatan Jepang Indonesia dalam ramah tamah tadi berbicara hati-hati. Diplomatis.

Pesan kunci darinya: Jepang dan Indonesia yang tahun ini merayakan 65 tahun hubungan kedua negara sepakat untuk mengkonkretkan tema “Satu Hati” atau “Kokoro Hitotsu Ni”.

Anggota DPR RI Rachmat Gober dan mantan Ketua DPD RI Ginandjar Kartasasmita yang mendampingi Fukuda-San pun mengangguk-angguk setuju. Begitu juga Dubes RI untuk Jepang Heri Akhmadi dan Dubes Jepang untuk Indonesia, Kanasugi Kenji.