RUU Ciptaker Harus Selaraskan Tumpah Tindih Regulasi Pertahanan

Demi upaya penyelarasan regulasi bidang pertanahan dan kehutanan, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mendukung upaya pemerintah dan DPR RI untuk segera menuntaskan pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker).


"Omnibus Law Cipta Kerja ini hendaknya bisa memangkas dan menyelaraskan berbagai aturan yang ada agar para petani dapat mengurus status legal lahan mereka dengan mudah," kata Ketua Apkasindo, Gulat Manurung.

Ia mengatakan, selama ini, persoalan legalitas lahan kerap disebabkan empat tipe konflik tenurial, yaitu perkebunan sawit rakyat dimasukkan ke dalam kawasan hutan, lahan petani berada dalam KHG Fungsi Lindung, lahan petani masuk Peta Indikatif Penundaan Izin Baru, dan moratorium kelapa sawit.

Apabila persoalan tenurial tidak dijalankan, petani akan kesulitan mengikuti Perpres 44/2020 yang mewajibkan setiap pekebun sawit memiliki sertifikat ISPO dalam lima tahun mendatang. Sertifikat ISPO mempersyaratkan petani mempunyai surat hak milik (SHM) atas lahan perkebunan kelapa sawit. Di lapangan, masih banyak petani baru mengantongi SKT/SKGR.

“Waktu lima tahun untuk prakondisi ISPO sangat singkat bagi petani. Jangan sampai ada kesan dengan aturan yang ada, para petani justru seperti hendak disingkirkan dari sektor industri kelapa sawit di Tanah Air,” ujarnya seperti dilansir Kantor Berita Politik RMOL, Senin (18/5).

Sementara itu, Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR), Surya Tjandra berpandangan, RUU Ciptaker merupakan memaduserasikan aturan di lapangan serta penyederhanaan regulasi pertanahan dalam rangka menjamin kepastian hukum bagi investasi seperti kelapa sawit.

“Industri kelapa sawit menghadapi persoalan tumpang tindih peraturan. Persoalan ini dapat teratasi melalui RUU Cipta Kerja karena terjadi overlapping regulasi di lapangan. Kami ingin kebijakan komprehensif dan berkelanjutan,” kata Surya.