PP GMKI : UU Otsus Bukan Kehendak Masyarakat Papua

Pengurus Pusat GMKI (PP GMKI) mengatakan komitmen Pemerintah untuk sejahterakan Papua jauh dari harapan pasca penetapan UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otsus Papua


Pengurus Pusat GMKI (PP GMKI) mengatakan komitmen Pemerintah untuk sejahterakan Papua jauh dari harapan pasca penetapan UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otsus Papua. 

Pernyataan ini disampaikan oleh Ketua Umum PP GMKI, Jefri Gultom setelah acara diskusi bertajuk "Meneropong Masa Depan Papua Pasca Penetapan Otsus Jilid II", Sabtu (14/08).

Jefri Gultom menyampaikan bahwa selama 20 tahun UU Otsus belum terlalu berdampak kepada masyarakat Papua. "Pelanggaran HAM dan Rasisme masih juga terjadi kepada masyarakat Papua. Komisi kebenaran dan rekonsiliasi yang merupakan amanah UU Otsus tidak pernah terbentuk ujar Jefri Gultom"

Selain itu, Jefri Gultom menyorotin kemiskinan di Papua. "Sungguh miris, Papua merupakan provinsi termiskin padahal pendapatan negera dari Pajak dan non Pajak terbesar termasuk berasal dari Tanah Papua tutur Jefri Gultom"

UU Otsus Papua Disusun Kehendak Jakarta

Ditengah penolakan sejumlah elemen masyarakat papua, Pemerintah dan DPR RI tetap mengesahkan UU Otsus Papua dalam rapat Paripurna (15/07). 

Awalnya hanya mengajukan revisi 3 pasal yakni perpanjangan dana otsus, aturan pemekaran wilayah dan ketentuan peralihan peraturan. Namun 18 pasal masuk dalam daftar revisi saat pembahasan DPR RI. 

Anggota DPD dari Dapil Papua Barat, Mamberob Y. Rumakik mengatakan pemahasan UU Otsus dilakukan ditengah pandemi covid 19 sehingga hanya beberapa perwakilan dari pansus yang mengikutin secara langsung di ruangan. Oleh karena itu, Mamberob mengajak masyarakat Papua untuk mengawal implentasi UU Otsus agar tepat sasaran dan berdampak pada masyarakat Papua. 

Disamping itu, Ketua MRP, Timotius Murib menilai tidak ada keseriusan perlindungan dan penegakan HAM serta membangun kesejahteraan terhadap masyarakat Papua dalam UU Otsus. 

Timotius Murib mengatakan penyusunan UU Otsus tidak melibatkan masyarakat adat dan juga MRP sebagaimana yang terdapat dalam pasal 77 UU No 21 Tahun 2001. Selain itu, Timotius Murib mengatakan ada sekitar 11 pasal yang dinilai merugikan orang asli papua. 

"Komisi kebenaran dan rekonsiliasi dihapus serta adanya badan baru yang di pimpin oleh Wakil Presiden dikhwatirkan adanya intervensi untuk kepentingan pemerintah pusat di tanah Papua ujar Timotius Murib". 

Oleh karena itu, Ketua MRP menyimpulkan nasib UU Otsus selama 20 tahun kedepan akan mengalami gagal total sama seperti sebelumnya. 

Ketua YLBHI, Asfinawati, menyampaikan pelanggaran HAM tidak terlepas dari kondisi Ekonomi Politik di tanah Papua. Asfinawati mengatakan konsentrasi pasukan keamanan di Papua jauh lebih tinggi dibandingkan warga wilayah lainnya. 

Untuk menghentikan pelanggaran HAM yang berkelanjutan, Asfinawati menyampaikan perlu adanya verifikasi fakta, pengungkapan kebenaran secara penuh dan terbuka , permintaan maaf kepada publik oleh Negara dan memastikan bahwa semua proses sipil dan militer mematuhin standar internasional tentang proses hukum, keadilan dan ketidakberpihakan.

Tuntaskan Pelanggaran HAM di Papua

Sekretaris BPC GMKI Jayapura, Yusuf Simbiak mengatakan puluhan tahun masyarakat Papua menyimpan rasa marah akibat rasisme dan pelanggaran HAM. "Ini sangat berbahaya, jika terus dibiarkan rasa sakit dan marah ini akan berakibat lebih besar di masa mendatang ucap Yusuf Simbiak"

Yusuf simbiak mengatakan pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah tidak cukup menyelesaikan persoalan di tanah Papua. "Kami mengharapkan Kehadiran langsung Presiden Joko Widodo untuk dapat berdialog di tanah Papua. Kami akan menyampaikan semua persoalan tanah Papua secara langsung kepada Presiden tutup Yusuf Simbiak"