Tudingan Gastro Kolonialme dan Berita Apriori Oleh Media Lokal di Jawa

Anggota TNI saat membantu mama Papua mengelola makanan tradisional
Anggota TNI saat membantu mama Papua mengelola makanan tradisional

Belakangan ini masyarakat Merauke dihebohkan dengan adanya isu Gastro Kolonial yang terjadi di Kabupaten Merauke diberitakan salah satu media massa yang berasal dari pulau Jawa yang mengaitkannya proses barter masyarakat pedalaman Papua dengan Satgas TNI di pedalaman.


Adapun media dengan nama urbanjogja.com menulis sebuah artikel dengan judul Pro Kontra Gastro Kolonial di Papua, Tukar Sayur dengan Mie Instan Merupakan Penjajahan Pangan yang ditulis oleh Sherien Haris Boenien itu menuai pro dan kontra khususnya bagi para pengamat di merauke yang menilai terjadinya miss informasi dalam pemberitaan yang diterbitkan tepat pada perayaan Natal 25 Desember 2022 tersebut. 

Yang mana pada pada tulisan tersebut Sherin Haris Boenien mengatakan bahwa kejadian aparat berbagi mie instan ditukar dengan sayuran di Papua terjadi di Papua Barat khususnya di Merauke, sehingga dikhawatirkan terjadinya krisis pangan yang terbentuknya karena adanya Gastro Kolonial.

Dalam tulisannya Sherin Haris Boenien menjadikan Jurnal yang ditulis oleh Sophie Chao Gastrocolonialism: the intersections of race, food, and development in West Papua yang terbit pada bulan Agustus Tahun 2021.Yang meskipun jurnal tersebut terbit pada tahun 2021 namun menggunakan fakta yang terjadi pada tahun 2010. 

Akademisi dari Universitas Musamus Merauke Nasri Wijaya ketika diwawancarai menilai apa yang di tuliskan oleh Sherien Haris Boenien itu merupakan suatu kekeliruan karena telah banyak fenomena yang berubah sejak tahun 2010 hingga hari ini di Kabupaten Merauke, terutama sejak berdirinya Universitas Musamus (Unmus) pada tahun 2010, dan dibentuk Fakultas Pertanian yang kini telah banyak kolaborasi dengan para petani termasuk petani lokal sehingga membuat Kabupaten Merauke saat ini mendapat menjadi Kabupaten di Pulau Papua dengan hasil pertanian paling melimpah jika dibandingkan dengan daerah lain di Papua.

“Kita ketahui bersama bahwa terjadi pembangunan besar-besaran di Kabupaten Merauke sejak tahun 2010 hingga hari ini, mulai dari sektor mulai dari infrastruktur, pendidikan, hingga pertanian, termasuk pertanian lokal Papua. Apalagi dari segi pertanian semenjak Kampus Unmus berdiri pada tahun 2010 ada fakultas pertanian, terjadi banyak kolaborasi antara pertani dan akademisi sehingga hasil pertanian Merauke menjadi melimpah, bahkan pada tahun 2020 sempat terjadi surplus beras, karea produksi beras yang terlalu melimpah di Kabupaten ini” Ujarnya

Nasri juga menyoroti penggunaan istilah Papua Barat, yang mana saat ini Kabupaten Merauke telah berada di Provinsi Papua Selatan yang telah dimekarkan pada tahun 2022 ini, selain itu juga fenomena Barter antara masyarakat Pribumi dengan aparat TNI yang viral tersebut tidak terjadi di Kabupaten Merauke, melainkan terjadi di daerah pegunungan Papua. 

“Kita juga sering lihat videonya ini viral di berbagai platform ada anggota Satgas TNI yang menerima Barter hasil kebun masyarakat dan ditukar dengan mie instan, yang mana kejadian pada video ini terjadi pegunungan Papua, bukan di Merauke, di Merauke sini tidak ada gunung seperti pada video tersebut, kami disini dikenal dengan istilah tanah datar, sehingga sudah pasti ada kekeliruan dari tulisan itu, yang disebabkan karena penulisnya Apriori alias prematur dalam menyimpulkan suatu permasalahan.” Terangnya.

Nasri juga menyoroti dasar penulisan berita yang selain menggunakan data dari jurnal dengan penelitian yang diambil dari masa lampau, tulisan pada artikel itu juga malah menjadikan justru mengambil komentar dari Netizen di twitter sebagai narasumber, yang menurut nasri jauh dari kata kebenaran ilmiah, sehingga makin bisa disimpulkan artikel itu benar-benar wujud apriori dari penulis.

“Penulisnya selain menggunakan data yang sudah lampau, ia juga menjadikan komentar dari netizen di twitter sebagai narasumber, yang mana kita ketahui bersama jika netizen itu siapa saja bisa berkomentar, mulai dari yang paham sampai yang tidak mengerti persoalan sama sekali juga bisa berkomentar disitu, tidak pantaslah jika kita mau buat tulisan menilai fenomena sosial suatu masyarakat hanya berdasarkan komentar netizen.” Tegasnya

Sehingga Nasri menyarankan kepada penulis untuk bisa lebih mengedepankan kaidah-kaidah penulisan yang lebih profesional ketimbang harus membuat tulisan yang mengacu pada komentar netizen yang sama sekali tidak ilmiah dan tidak dipertanggung jawabkan.

“Ya minimal berkelaslah, cari narasumber yang punya kualitas, Jogjakan kota pendidikan, masa iya media massa di sana tidak punya akses untuk menemui narasumber yang berkelas sedikit ketimbang harus pakai komentar netizen untuk menulis artikel, kan jadinya apriori.” Pungkasnya.