Antisipasi Imbas Kenaikan BBM, Pemerintah Diminta Pangkas Belanja Infrastruktur

Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira/Net
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira/Net

Imbas kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang rencananya akan diimplementasi pemerintah pada tahun ini dipandang cukup mengkhawatirkan. Sehingga muncul dorongan agar belanja infrastruktur dan pengadaan di kementerian/lembaga dikurangi.


Saran tersebut disampaikan Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira, saat dihubungi  Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (30/8).

"Pemerintah juga bisa secara paralel pangkas belanja infrastruktur, belanja pengadaan barang jasa di pemda dan pemerintah pusat," ujar Bhima.

Dalam catatan Bhima, sepanjang Januari hingga Juli 2022, serapan subsidi energi baru Rp 88,7 triliun, berdasarkan data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sementara APBN sedang surplus Rp 106,1 triliun atau 0,57 persen dari PDB di periode Juli.

"Artinya, pemerintah juga menikmati kenaikan harga minyak mentah untuk dorong penerimaan negara. Kenapa surplus tadi tidak diprioritaskan untuk tambal subsidi energi?" kritik Bhima.

Ekonom jebolan Universitas Indonesia ini menduga ada indikasi pemerintah tidak mau pangkas secara signifikan anggaran yang tidak urgen. Untuk kemudian memili mengorbankan subsidi energi dari surplus yang didapat dari kenaikan harga minyak mentah global itu.

Maka dari itu, Bhima menyarankan pemerintah untuk mencari jalan tengah yang juga menguntungkan masyarakat Indonesia. Sebab, konsumsi rumah tangga berpotensi tergerus akibat kenaikan BBM, utamanya yang bersubsidi seperti jenis Pertalite.

Terlebih, dia mensinyalir kenaikan harga BBM berpotensi mengantarkan Indonesia masuk ke fase stagflasi yang ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi yang melemah dan angka pengangguran menjadi tinggi.

"Untuk menahan harga BBM tidak naik, diperkirakan pemerintah selama semester kedua butuh tambahan alokasi subsidi Rp 120-150 triliun. Ini dengan asumsi subsidi energi baru terpakai 88,7 triliun dari Januari-Juli 2022 (data APBN)," paparnya. Dilansir dari kantor berita RMOL.

"Artinya spesifik untuk subsidi energi meliputi Pertalite, Solar, LPG 3 kg, dan listrik proyeksi kebutuhan diperkirakan Rp 238.7 triliun total di 2022. Jadi tanpa ada kenaikan harga Pertalite masih memungkinkan anggaran subsidi energi plus dana kompensasi Rp 502 triliun itu lebih dari cukup," demikian Bhima.