Diplomasi Basa-basi Indonesia

Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo/Net
Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo/Net

ADA hal yang menggelitik dari rangkaian kunjungan kerja Presiden Jokowi ke beberapa negara. Agenda yang banyak disorot adalah lawatan ke Ukraina dan Rusia untuk bertemu Presiden Zelensky dan Vladimir Putin.


Dengan mengusung misi perdamaian dan keprihatinan atas ancaman rantai pasok pangan, Presiden Jokowi bertolak dari Halim Perdanakusuma pada hari Minggu (26/6).

Beberapa hal yang patut menjadi perhatian, pertama, Indonesia tidak memiliki kepentingan strategis nasional yang terganggu dari perang Rusia dan Ukraina yang didukung NATO dan Amerika Serikat.

Jika dilihat dari neraca perdagangan, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai ekspor barang Indonesia ke Rusia pada Maret 2022 adalah sebanyak 67,5 juta dolar AS, atau turun 48,66% dibanding setahun sebelumnya.

Adapun nilai impor Rusia ke Indonesia meningkat nyaris 140% (yoy) ke 257 juta dolar AS pada Maret 2022. Produk utama yang diimpor dari negara tersebut adalah besi dan baja, pupuk, dan bahan bakar mineral.

Adapun dengan Ukraina, barang-barang yang diimpor dari Ukraina ke Indonesia di tahun 2021 adalah serealia dan nilainya mencapai 946,5 juta dolar AS. Diikuti besi dan baja (53,3 juta dolar AS) serta mesin dan peralatan mekanis (10,9 juta dolar AS). Dan ekspor Indonesia pada 2021 ke Ukraina adalah 417 juta dolar AS.

Dilihat dari nilai dan jenis komoditas tersebut, ini bukanlah sesuatu yang akan mendatangkan instabilitas pangan maupun bahan baku industri domestik. Karena gap tersebut dapat segera ditutupi negara importir lainnya. Dan Indonesia pun dapat mudah mencari pasar baru untuk mengganti posisi kedua negara itu.

Kedua, ancaman dan kesulitan evakuasi terhadap warga negara Indonesia di wilayah perang Ukraina tidak terjadi. Pada 6 April dalam Rapat Kerja dengan Komisi I DPR, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengungkapkan, 133 dari total 165 WNI di Ukraina telah berhasil dievakuasi ke Indonesia maupun beberapa negara lain. Dan sisanya memilih bertahan di Ukraina.

Ketiga, pihak swasta maupun BUMN tidak melakukan investasi dalam skala besar di Ukraina. Sehingga kepentingan mengamankan aset investasi melalui tekanan diplomatik dengan kunjungan kepala negara tidak perlu dilakukan.

Ada beberapa alasan kenapa presiden Jokowi akan bertemu dengan pemimpin kedua negara yang tengah berperang tersebut. Pertama, hal ini tidak terlepas dari pertemuan antara presiden Jokowi dengan Presiden Amerika Serikat Joe Biden di Gedung Putih pada 12 Mei bersama pemimpin ASEAN lainnya.

Saluran komunikasi Barat dengan Rusia telah rusak hingga level terendah. Posisi Indonesia yang selama ini menjadi mitra baik terhadap Amerika Serikat dianggap tepat untuk menyampaikan pesan Washington kepada Moscow.

Mengingat hingga saat ini hubungan Indonesia dengan Rusia terjalin baik dan ditambah dukungan besar masyarakat Indonesia terhadap Rusia saat ini. Dan pembatalan pembelian minyak Rusia oleh Pertamina meski minyak tersebut lebih murah dari harga pasaran dunia saat ini, membuat Amerika nyaman dengan posisi Indonesia.

Kedua, tunduknya Indonesia atas tekanan Amerika Serikat dan negara Barat lainnya dengan diundangnya Presiden Ukraina Zelensky di pertemuan puncak KTT G 20 di Bali nanti. Indonesia sadar telah kehilangan posisi strategis dalam perhelatan bergengsi tersebut, karena dipastikan isu Ukraina akan menjadi tema utama.

Dan tema besar G20 akan kehilangan makna. Untuk itu, Indonesia mencoba melakukan kemenangan diplomasi dengan tampil sebagai agen perdamaian. Syukur jika hal ini dapat menjadi legacy Presiden Jokowi.

Sesuai Konstitusi Indonesia Turut Menjaga Ketertiban Dunia

Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan bahwa Indonesia ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Amanah inilah yang selalu menjadi landasan bagi Indonesia berpartisipasi dalam pasukan perdamaian PBB ataupun menjadi mediator bagi negara yang berkonflik jika dibutuhkan.

Namun konflik Rusia-Ukraina adalah sesuatu yang berbeda dan secara geopolitik dikuatirkan Indonesia akan terjebak dan salah ambil posisi dalam konflik ini. Yang harus disadari adalah, pertama Indonesia bukan negara pemilik senjata nuklir sehingga dalam konflik ini posisi Indonesia tidaklah terlalu signifikan untuk menekan Rusia langsung atau pun memengaruhi Amerika Serikat dimana kendali Ukraina berasal.

Kedua, Indonesia bukan eksportir minyak dan gas ke Uni Eropa sehingga tidak dapat memainkan kartu energi yang mampu menggantikan pasokan minyak dan gas Rusia ke Eropa.

Ketiga, posisi China dalam konflik ini patut diperhitungkan Indonesia. Karena Indonesia dan China memiliki kepentingan langsung satu sama lain.

Saya benar-benar tidak menemukan argumentasi rasional untuk mendukung klaim Presiden Jokowi dan Menteri Luar Negeri Retno bahwa kunjungan kerja ke Rusia dan Ukraina adalah demi agenda perdamaian dan mengamankan rantai pasok pangan dunia. Ini mengingat alasan alasan di atas dan Indonesia pun secara nyata masih berkutat dengan urusan ketahanan pangan dalam negeri yang tidak terkait dengan rantai pasok pangan dunia.

Mudahnya Indonesia mengalami kelangkaan atau kenaikan harga komoditas dalam negeri, menjadikan safari diplomasi kepala negara dengan tema rantai pasok pangan dunia menjadi kehilangan relevansinya.

Jika kunjungan kerja ini sesuai amanat pembukaan konstitusi, turut menjadi pertanyaan karena sebelum turut ikut melaksanakan ketertiban dunia, konstitusi mengamanatkan pemerintah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum serta mencerdaskan kehidupan bangsa.

Namun entah mengapa dua hal tersebut masih belum sempurna, pemerintah sudah melompat ke bagian ketertiban dunia.

Kunjungan kerja yang terlanjur dilakukan ini, saya berharap agar presiden Jokowi dan jajarannya mendapatkan sesuatu yang relevan untuk kepentingan nasional.

Minimal, perluasan market ke Eropa, Ukraina, dan Rusia untuk produk Indonesia atau kerjasama menguntungkan lainnya.

 

*Analis Geopolitik di Ormit Kelola Nusantara