Keadilan Dan Potensi Suap Putusan Pilkada Mahkamah Konstitusi

Dikson Ringo/ Pengamat Kekuasaan atau jabatan/ Ketua DPP KNPI Bid. Poldagri/ Net
Dikson Ringo/ Pengamat Kekuasaan atau jabatan/ Ketua DPP KNPI Bid. Poldagri/ Net

Keberatan terhadap hasil ketetapan KPU dalam pilkada serentak baik pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota, diajukan kepada Mahkamah Konsitusi Republik Indonesia (MK RI) untuk menguji keabsahan hasil penetapan KPU terkait dengan perolehan suara. 

Dalam Pilkada 2020, para pemohon mengajukan permohonan kepada MK agar hasil penetapan KPU diuji ulang untuk memenuhi rasa keadilan dalam proses penyelenggaraan pilkada yang berlangsung Tahun 2020.

Perkara pilkada di MK RI bertumpu pada aspek sengketa selisih perorangan suara yang dinilai curang dan tidak adil oleh pemohon. Kecurangan proses penyelenggaraan pilkada yang dilakukan oleh KPU sebagai penyelenggara kerap kali berkonspirasi dengan pihak yang berkuasa (petahana). 

Hal itu secara empiris dapat dibuktikan dan ditelusuri dari adanya Anggota KPU yang dipecat oleh DKPP karena tersangkut pelanggaran etik. Artinya potensi penyimpangan KPU sebagai penyelenggara bukanlah pepesan kosong. 

Tugas Pemohon di Sidang Mahkamah Konstitusi adalah semata-mata membuktikan itu berbasis alat bukti yuridis serta membuktikan barang bukti untuk memperkuat alat bukti itu.

Disamping itu, segala gugatan permohonan yang diajukan di MK terkait sengketa pilkada meniscayakan terpenuhinya syarat formal untuk memenuhi kepentingan hukum acara di MK maupun terpenuhinya syarat materil untuk meyakinkan Hakim Panel MK guna memutuskan perkara seadil-adilnya. 

Dengan demikian tantangan pemohon sebagaj pihak pencari keadilan atas potensi kecurangan penyelenggara/KPU tidaklah ringan.

Dalam pilkada 2020, ada 136 pihak pemohon yang keberatan dengan hasil penetapan perolehan suara oleh KPU. Saat ini, bola keadilan berada ditangan sembilan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) RI. 

Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) tidak serta merta harus diyakini sebagai "Dewa Keadilan" betapapun status Hakin Mahkamah Konstitusi disebut juga "Negarawan".

Predikat Hakim MK sebagai negarawan tercoreng dalam kasus yang menimpa Akil Muhtar mantan Ketua MK dalam skandal "suap & ditemukan lintingan ganja di dalam laci meja kerjanya. 

Sementara dari sisi "Etik" kewibawaan Hakim MK sebagai "negarawan" juga tercoreng atas adanya pelanggaran Etik seorang Hakim MK yang menyandang gelar Profesor. 

Hal yang lebih krusial lagi ketika Hakim MK bernama Patrialis Akbar tersangka KPK dalam tindak pidana korupsi. Tiga orang Hakim MK yang mendapatkan peristiwa naas adalah peluang bagi siapa saja untuk mencurigai bahwa Hakim Mahkamah Konstitusi sangat rawan penyuapan pada setiap momen sengketa pilkada.

Atas dasar itu, pernyataan Pakar Hukum Tata Negara UI Doktor Margarito Kamis tentang MK sebagai benteng penyuapan yang memberi lisensi bagi yang punya niat jahat dalam sengketa di MK berlindung dibalik pasal 158 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota adalah sangat logis dan beralasan ditinjau dari sisi buruk rekam jejak Hakim Mahkamah Konstitusi yang terlibat skandal dan pemangkasan keadilan yang membatasi syarat formal 05 sd 2 % selisih suara yang diuji di MK. 

Kenyataan pasal yang berpotensi jahat ini yang sedang ditentang oleh Pakar Hukum Margarito Kamis. Dengan demikian, posisi Ketua MK yang bertanggung jawab terhadap marwah lembaga Mahkamah Konstitusi kiranya tidak diam mengamati gerak gerik potensi suap yang ditujukan kepada Hakim MK dalam sengketa Pilkada 2020. 

Kerawanan penyuapan itu berpotensi terjadi bagi daerah-daerah yang masih tertinggal akibat ambisi berkuasa dengan menghalalkan segala cara tetapi mengabaikan akal sehat dan proses penyelenggaraan pilkada yang benar. 

Sengketa Pilkada Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Bima, Kabupaten dan di Propinsi Maluku bahkan Papua Barat Kav.Kaimana...adalah wilayah yang diduga sangat rawan potensi konspirasi jahat pemenang yang ditetapkan oleh KPU dengan para oknum Hakim Mahkamah Konstitusi yang punya rekam cacat etik.melakukan Ijonisasi Hasil Suara dengan Pengemplangan Dana Awal untuk diputuskan di Mahkamah Kontitusi.