POLITIK REKOGNISI SETENGAH - SETENGAH DIMERAUKE

Ilustrasi Papan Nama Pintu Masuk Taman Nasional Wasur
Ilustrasi Papan Nama Pintu Masuk Taman Nasional Wasur

Salah satu tempat peninggalan yang ditinggalkan oleh World Wild Fund (WWF) di Merauke ketika masih beroperasi di Merauke adalah Taman Nasional Wasur. 

Benda ini menjadi penanda bagaimana dalam prosesnya lembaga ini melibatkan orang khususnya orang Marori dalam melihat unsur budaya dalam perspektif kognitif dan rekognisi, bahwa kehadiran organisasi tersebut menganggap penting orang lokal beserta pengertiannya serta Tanda batas untuk Taman Nasional.

Salah satu contoh yang menjadi bagian penting orang lokal dilibatkan dalam rumusan pembangunan adalah membuat orang lokal itu merasa dihargai, dicintai dan diperhatikan sesuai hak-hak akan kekayaan budayanya .

Apakah sebuah keniscayaan Potret masa lampau Orang Marind dengan kosmologi kehidupannya dihidupkan kembali dengan cara modern dengan Kebijakan yang mendukung .

Perspektif kita akan Marind dengan relasi kognitif yang komplit hanya berakhir pada tahun 1966 ketika terbit bukunya Vanball dengan Judul DEMA bahwa secara kognitif kami orang Marind ada pada masa lampau itu diadaptasikan pada saat itu saja secara baik dan rapi.

Pemahaman tentang orang lokal adalah salah satu cara untuk membangun pluralisme dalam konsep kenegaraan. Perasaan terhubung dengan leluhur adalah sesuatu yang penting. Seberapa penting kebijakan kita menempatkan orang lokal sebagai subjek . Hal Itu pemahaman re-posisi kognitif yang harus dibangun .

Orang Marind di Kota akan merasa memiliki kota Merauke dengan perspektifnya karena dibangun berdasarkan unsur historisnya. Tanda-Tanda historis hilang jejak dan tidak diperhatikan karena literatur oral history-nya tidak ditulis dengan baik. Menjadi menjadi a-historis di Kota Merauke karena pendekatan kesejarahan tidak dibangun secara skematis

PERSPEKTIF LOKAL DALAM PEMAHAMAN ORANG LOKAL .

Kalau kita dari Wasur menuju ke kota tidak ada penanda fisik yang menjadi potret adanya kehidupan orang lokal dengan perspektif mereka sendiri . Jalan -jalan tertentu tidak mewakili seluruh kehadiran orang lokal dengan perspektif akan tanah dan leluhur mereka . Bangunan -Bangunan pemerintah hanya sebuah ornamen -ornamen setengah hati.

Mereka seolah -olah hilang ditelan oleh peradaban saat ini dan mungkin saja tidak punya perspektif akan masa depan yang cerah bahwa keterhubungan dengan secara lokal menjadi penting.

Harus diakui dengan jujur bahwa persoalan penempatan perspektif orang lokal dalam lanskap kehidupan selama ini tidak diperhatikan dengan baik . lanskap kehidupan paling utama adalah bahasa disekitar lingkungan kita.

Sisi ornamen dan fitur -fitur selalu jadi persoalan serius . Tantangan bagi orang asli Papua untuk memperhatikan dengan baik . Bahwa harus didorong serta diadvokasi untuk kepentingan rekognisi.

LIPI merumuskan salah satu kebijakan yang perlu ditempuh untuk membangun hubungan yang baik dengan orang asli Papua adalah Perspektif rekognisi . Perspektif menggali betapa pentingnya orang lokal dihargai dengan perspektif rekognisi dalam kerangka berpikir orang Papua . Salah satu tantangan yang paling mendasar adalah persoalan diakui sebagai orang lokal, mengakui keberadaan masyarakat adat beserta kehidupannya.

KITA PERLU POLITIK REKOGNISI .

Berdasarkan teori Honneth, politik rekognisi memiliki tiga ranah yang berbeda namun saling berkaitan: cinta, hukum/hak, dan solidaritas . Kita perlu berdialektika untuk merekonstruksi apakah gagasan Honneth ini menjadi bagian dari produk yang terjadi di Tanah Merauke ini . Kita memerlukan sedikitnya gambaran dari bagaimana pelaksanaan politik rekognisi ini dalam perspektif Merauke.

TIDAK MERASA DICINTAI .

Orang -orang lokal dengan perspektif mereka akan merasa tidak dicintai jika salah satu bagian dari keterhubungan mereka dengan leluhur tidak diperhatikan . Ini situasi problematik menjadi persoalan serius kalau bicara lanskap bahasa tidak mencerminkan keadaan yang ditumbuhkan oleh pengambil kebijakan . Perasaan tidak merasa dicintai itu ada. Pembangunan Fisik meninggalkan kesan tidak ada orang lokal disitu. Itu berbeda dengan bali salah contohnya atau daerah lain di Indonesia .

Problematikanya adalah Manusianya telah bergeser dari lingkungan utama kota maka dukungan akan lanskap beserta pengetahuan kesejarahan harus dihidupkan kembali dalam bentuk Penelitian historis tentang Orang Marind di kota Merauke.

kita perlu strategi baru untuk membangun apakah orang -orang Papua merasa dicintai dan dihargai dengan dalam konsep yang setara di dalam Bingkai Negara kesatuan republik Indonesia itu adalah sebuah dinamika. Dinamika itu akan menjadi sebuah pilihan politik yang strategis jika salah satu aspek penting perasaan dicintai ini dimunculkan dalam kebijakan pembangunan.

Solidaritas untuk merekonstruksikan gagasan akan pentingnya Orang Marind di kota dengan Peta sejarahnya pada akhirnya akan memunculkan perspektif baru bahwa kehadiran Negara ikut bertanggung jawab secara baik terhadap keberlangsungan masyarakat adat serta pengetahuan lokal.

Agustinus Mahuze: Penulis merupakan budayawan suku Marind