Tanah Bersertifikat Diduga Dirampas, Keluarga Noya Tuntut Keadilan atas Pembongkaran oleh PT. Global Papua Abadi

Merauke, 10 Desember 2024 - Sengketa antara PT. Global Papua Abadi (PT. GPA) dengan pemilik tanah Keluarga Noya masih terus berlanjut. Setelah melakukan aksi protes yang pertama langsung di lahan tanah yang disengketakan, kali ini mereka kembali melakukan aksi protes kedua didepan Kantor PT. GPA dengan memasang spanduk yang bertuliskan agar PT. GPA segera menghentikan kegiatan ditanah bersertifikat yang saat ini menjadi sengketa sampai adanya kesepakatan atau ganti rugi.


Menurut kuasa hukum Keluarga Noya, Petrus Wekan bersama dengan Fransiskus Samderubun dan Agustinus Esra menjelaskan bahwa aksi ini dilakukan karena sebelumnya pihak PT. GPA menjanjikan akan melakukan mediasi bersama dengan pihak Keluarga Noya tapi sampai aksi kedua ini dilakukan pihak PT. GPA tidak ada pemberitahuan, sedangkan pekerjaan ditanah yang disengketakan terus berjalan.

Petrus Wekan menegaskan bahwa PT. GPA telah melakukan pembongkoran tanah tanpa melakukan konformasi dan ganti rugi dengan pihak Keluarga Noya, padahal tanah tersebut telah memiliki surat pelepasan adat dari tahun 1996 dan sertifikat hak milik yang diterbitkan tahun 2018.

"Total yang kami hitung dan pegang adalah 43 sertifikat hak milik klien kami yang telah dibongkar. 1 sertifikat itu luasannya setengah hektar, dan itu tanah kakak beradik dari keluarga besar Noya," jelasnya.

Diwaktu yang sama pihak keluarga menyesalkan pihak PT. GPA yang sampai saat ini masih terus melakukan pembongkaran diatas tanah yang menjadi hak milik mereka, apalagi pihaknya memegang bukti dan melihat langsung bahwa pembongkaran ini diawasi oleh aparat dari TNI.

"Kami bukan mau menghambat proyek dari Pemerintah, bahkan kami mendukung. Tetapi cara yang dilakukan oleh PT. GPA ini sangat merendahkan kami sebagai masyarakat kecil yang memiliki hak atas tanah ini, tapi terus diabaikan. Jadi kami ini minta keadilan, apalagi sudah pakai tentara disitu," ungkapnya.

Diksempatan yang sama, perwakilan dr PT. GPA, Joko menjawab bahwa pihaknya sedang mencari waktu untuk melakukan koordinasi dengan Pemerintah dan instansi yang berwenang terhadap lokasi tanah tersebut, karena menurutnya perusahaan bekerja berdasarkan ijin yang telah diberikan.

"Pada prinsipnya pihak perusahaan tidak mau merugikan pihak manapun karena ini merupakan proyek strategis nasional dalam rangka ketahanan pangan dan energi yang disuport oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan perusahaan taat terhadap perijinan," pungkasnya.