- Pantaskah Victor Yeimo Sebagai Pejuang HAM ?
- Posisi Penting Indonesia Pada Konflik Global dan Kerentanan Kawasan
- Menyikpai Surat Perintah Mendagri Tentang Pelaksa Harian (PLH) Gubernur Papua Dalam Meredam Kisruh Di Papua
Baca Juga
Ibadah haji tahun 2025 tidak hanya bermakna spiritual, tetapi juga politis, sosial, dan kecanggihan teknologi. Bagi Arab Saudi, ini merupakan panggung global untuk menunjukkan hasil nyata dari Saudi Vision 2030, sebuah proyek reformasi besar-besaran yang diluncurkan Putra Mahkota Mohammed bin Salman sejak 2016. Di sisi lain, bagi Indonesia dan negara-negara pengirim jamaah haji lainnya, pelayanan haji moderen ini menjadi tantangan besar di dalam beradaptasi pada perubahan yang cepat, terukur, dan berbasis sistem digital.
Transformasi Arab Saudi kini terjadi di hampir semua lini. Di sektor ekonomi, negara ini mulai meninggalkan ketergantungan pada industri minyak dan mengembangkan industri pariwisata, teknologi, dan layanan publik. Kota-kota seperti Makkah dan Madinah dipoles menjadi destinasi internasional, lengkap dengan smart hotel, jaringan transportasi modern, dan infrastruktur digital kelas dunia. Di sektor sosial, pembatasan yang dulu melekat kini berubah drastis: perempuan sudah boleh mengemudi, bekerja di sektor publik, dan menjalani kehidupan sosial secara lebih setara. Sementara itu, konser musik, bioskop, festival budaya hingga beragam jenis hiburan dengan citarasa Barat sudah menjadi pemandangan umum, khususnya di ibukota di Riyadh.
Perubahan paling mencolok terjadi di sektor layanan publik, termasuk penyelenggaraan ibadah haji. Melalui sistem digital bernama Nusuk, Arab Saudi memusatkan seluruh proses haji dari visa hingga akomodasi ke dalam satu platform terintegrasi berbasis kecerdasan buatan. Jalur tidak resmi seperti visa furoda resmi ditutup begtu juga visa-visa non haji yang selama menjadi celah beribadah haji makin diperketat. Semua jemaah wajib terdaftar, tersertifikasi, dan terpantau secara real time. Tahun ini, lebih dari 290.000 jemaah ilegal gagal masuk Tanah Haram. Sebuah angka yang menggambarkan betapa seriusnya reformasi ini diterapkan
Haji Digital, Syarikah Lokal dan Matinya Jalur Belakang
Musim haji 1446 H/2025 M menjadi tonggak baru. Semua urusan haji kini sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah Saudi melalui perusahaan lokal (syarikah) dan sistem digital berbasis kecerdasan buatan. Jalur tidak resmi seperti visa furoda atau visa pekerja yang dahulu sering dimanfaatkan, akhirnya resmi ditutup. "No Hajj without a Permit" bukan sekadar slogan: tanpa visa resmi dan kartu digital Nusuk, tak satu pun jemaah diperkenankan masuk Arafah, Muzdalifah, atau Mina.
Tak tanggung-tanggung, lebih dari 290.000 jemaah ilegal gagal memasuki Tanah Haram. Hukuman pun tidak main-main: denda hingga Rp500 juta, deportasi, bahkan blacklist selama satu dekade, hingga mendekam dalam penjara Arab Saudi. Para mukimin yang dulu bisa “nyambi” jadi petugas tak resmi, kini terdepak. Semua harus tersertifikasi, terverifikasi, dan teregistrasi secara digital. Ini bukan sekadar pengendalian, tetapi lompatan menuju tata kelola ibadah haji berbasis transparansi dan akuntabilitas.
Namun, sistem yang canggih pun tidak bebas dari kelemahan. Implementasi awal platform Nusuk menuai kebingungan, baik di kalangan otoritas Saudi maupun jamaah asing dengan latar belakang Pendidikan dan sosial yang beragam. Akibatnya, menjelang puncak haji, sistem mulai dilonggarkan: administrasi bisa diurus oleh perwakilan jamaah, tak lagi harus individu. Sebuah kompromi yang menunjukkan bahwa proses adaptasi masih berlangsung.
BPH Haji: Mewarisi Beban Masa lalu, Memerlukan Reformasi
Di tengah transformasi Arab Saudi, Indonesia dihadapkan pada tantangan domestik. Dengan kuota 221.000 jemaah, penyelenggaraan haji bukan sekadar logistik ibadah, tapi operasi masif berskala negara. Sayangnya, sejumlah masalah klasik terus berulang: akomodasi yang tidak memadai, transportasi yang tertunda, hingga koordinasi yang lemah di lapangan.
Kementerian Agama yang selama ini menjadi aktor utama akan menyerahkan tongkat estafet kepada Badan Penyelenggara Haji (BPH) pada 2026. Namun, jika kualitas pelayanan masih seperti tahun ini, perpindahan lembaga tidak akan berarti apa-apa. Tahun 2025 seharusnya menjadi ibroh bagi BPH Haji dalam menyiapkan reformasi menyeluruh, bukan sekadar mengganti nama pelaksana.
Petugas Haji: Antara Amanah dan Ajang ‘Nebeng’
Salah satu titik kritis adalah performa petugas haji Indonesia. Banyak yang tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya — tidak bisa berbahasa Arab, tidak paham sistem dan budaya di Arab Saudi, bahkan tidak sanggup membantu jemaah di lapangan. Alih-alih menjadi pelayan, mereka justru menjadi beban. Fakta bahwa banyak petugas terkesan dipilih karena koneksi menambah ironi petugas haji.
Sebaliknya, petugas syarikah Saudi justru tampak tampil prima: mayoritas anak muda, enerjik, sigap, dan penuh inisiatif. Sebuah pemandangan yang menyakitkan dan membuka mata. Petugas haji Indonesia perlu direkrut secara ketat, berbasis kompetensi, bukan sebagai hadiah atau reward. Jika tidak, kita akan terus mengulang kegagalan yang sama dari tahun ke tahun.
Komplikasi Banyaknya Syarikah
Satu lagi catatan penting adalah keputusan untuk bekerja sama dengan delapan syarikah Arab Saudi. Alih-alih menambah efektivitas, ini justru memperburuk koordinasi. Terlalu banyak pihak yang terlibat menyebabkan penumpukan tanggung jawab dan distribusi yang tidak merata, mulai dari akomodasi hingga transportasi Armuzna.
Idealnya, Indonesia cukup menggandeng satu atau dua syarikah yang dipilih melalui proses bidding yang transparan. Fokus bukan pada jumlah, tetapi pada integrasi sistem, efisiensi layanan, dan akurasi data. Kita tidak boleh lagi membiarkan jemaah satu kloter tinggal di hotel berbeda, apalagi suami-istri yang terpisah selama haji.
Istitha’ah dan Rapor Merah Saudi
Masalah kesehatan jemaah menjadi sorotan tajam. Arab Saudi memberikan rapor merah kepada Indonesia, khususnya dalam hal keabsahan data kesehatan jemaah. Bahkan muncul wacana pemangkasan kuota sebesar 50% untuk tahun depan. Ini menjadi sinyal serius bagi penyelenggara haji Indonesia. Data kesehatan yang tidak valid bukan hanya membahayakan jemaah, tapi juga merusak reputasi Indonesia.
Tenaga medis harus lebih ketat dalam menyaring jemaah, sementara jemaah sendiri harus lebih jujur: jika kondisi fisik tidak memungkinkan, lebih baik menunda. Haji bukan hanya niat, tetapi juga kesiapan.
Haji dan Panggung Peradaban Islam Modern
Transformasi Arab Saudi mengajarkan kita bahwa haji kini bukan semata-mata ritual spiritual, melainkan panggung bagi peradaban Islam modern, sebuah mega-proyek lintas negara, digitalisasi layanan publik, dan etalase manajemen global. Pertanyaannya sederhana: Apakah BPH Haji siap menyesuaikan diri atau hanya akan jadi penonton di Tanah Suci sendiri? Tahun 2025 menjadi alarm keras. Jangan hanya terbangun, tapi bergerak. Sebelum pintu perubahan benar-benar tertutup dan kita kehilangan kepercayaan jamaah haji dan dunia Islam.
Adib Fuad adalah Alumni Madrasah Mathaliul Falah, Kajen, Pati. Saat ini menjabat sebagai Wakil Rais Syuriyah PWNU Papua Selatan dan Anggota DPD RI Perwakilan Provinsi Papua Selatan.
- Peran Strategis Ketua Umum dan Mantan Ketua Umum KADIN Indonesia dalam Pilpres 2024
- Pesan dari Puncak Golgota
- Dorce Meninggalkan Warisan yang Sangat Berharga