Kebijakan Pengendalian BBM Jenis Solar VS Beban Operasional Pelaku Usaha

Ilustrasi / ist
Ilustrasi / ist

 

Kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar bersubsidi saat ini tengah terjadi secara global di Indonesia, termasuk di Kota Merauke. Jalur panjang antrian kendaraan roda 4 dan roda 6 yang memenuhi bahu jalan kiri dan kanan menuju SPBU telah menjadi pemandangan para pemakai jalan di Kota Merauke sejak awal tahun 2022.

Kondisi ini sejatinya sudah sangat mengganggu pemakai jalan terlebih lagi pemilik tempat usaha yang bagian depan tempat usahanya menjadi jalur antrian kendaraan tersebut. Segala usaha persuasif telah dilakukan, baik oleh pemerintah daerah, DPRD, dan pelaku usaha, untuk menguraikan keruwetan ini.

Bahkan beberapa pelaku usaha secara pribadi telah sampai pada perilaku agresif, berupa pemasangan tanda “BATAS ANTRI” maupun protes melalui akun media sosialnya. Namun hingga kini belum ada perubahan yang berarti. Antrian kendaraan tetap menumpuk dan memenuhi bahu jalan.

Selain itu kondisi ini juga sangat mempengaruhi manajemen operasional usaha. Banyak hal dalam usaha yang harus disesuaikan dengan kondisi langkanya BBM jenis solar bersubsidi ini, salah satunya yang paling terdampak adalah adalah harga jual produk.

Mengapa kondisi ini dapat terjadi?

Sampai kapan kondisi ini akan berlangsung?

Bagaimana pihak-pihak terkait menyelesaikan masalah ini?

Tulisan ini bertujuan untuk mengulas kebijakan pengendalian BBM jenis solar bersubsidi oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) terhadap beban operasional yang harus ditanggung oleh para pelaku usaha ditinjau dari opini penulis.

Subsidi BBM sebagai Hak Warga Negara dalam Pembangunan

Minyak dan gas adalah barang publik, atau properti bersama, maka sudah seharusnya semua orang memiliki akses ke sumber daya tersebut. Para pendiri bangsa pun memiliki paham demikian.

Oleh karena itu, ditetapkanlah Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian membentuk dasar dari sistem ekonomi negara. Pasal ini berisikan landasan perekonomian serta pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki negara Indonesia.

Berikut bunyi Pasal 33, yang dikutip langsung dari Undang-Undang Dasar 1945 : Pasal 33 (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional; (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

Kebijakan subsidi negara terutama bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sosial-ekonomi dasar masyarakat. Salah satunya adalah subsidi BBM yang berkaitan dengan banyak sektor yang memengaruhi kebutuhan hidup rakyat banyak. Sangat penting untuk mempertimbangkan dimensi hak-hak warga negara dalam pembangunan saat menetapkan kebijakan subsidi BBM.

Ini bukan hanya karena pertimbangan ekonomi sangat penting untuk setiap kebijakan, tetapi juga karena logika dan stabilisasi sosial-politik selalu menjadi prioritas dalam kebijakan pemenuhan kesejahteraan dalam situasi krisis ekonomi.

Fenomena antrian kendaraan untuk mendapatkan bahan bakar di SPBU yang terjadi di Kota Merauke dan kota-kota lainnya di Indonesia membuka mata kita bahwa keberlangsungan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat saat ini sangat bergantung pada ketersediaan BBM.

Semakin kuat keinginan kita untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan, maka akan semakin besar konsumsi BBM yang kita butuhkan. Salah satu contoh, telah menjadi pengetahuan umum bahwa  setiap jenis usaha atau profesi membutuhkan koneksi.

Salah satu cara untuk membentuk koneksi adalah silahturahmi atau menghadiri pertemuan-pertemuan potensial. Untuk bisa mewujudkan itu, diperlukan kendaraan yang bisa membawa kita ke tempat-tempat yang ingin dituju dimana hal ini menuntut kita mengkonsumsi lebih banyak BBM.

Contoh lainnya, untuk pelaku usaha di bidang transportasi, maka ketersediaan BBM adalah hal mutlak dalam keberlangsungan usaha. Fenomena ini jika ditinjau dari sudut pandang ekonomi sebenarnya merupakan indikator bertumbuhnya perekonomian masyarakat setelah sebelumnya digempur oleh pandemi Covid-19 yang memaksa pemerintah melakukan berbagai pembatasan di berbagai sektor.  

Seusai pandemi, yakni pada tahun 2022, kondisi perekonomian negara berangsurmembaik. Sehingga konsumsi BBM baik solar maupun pertalite mengalami lonjakan. Hal ini mendorong pemerintah melalui BPH Migas melakukan penambahan kuota pertalite sebanyak 6,86 juta kiloliter (KL) dari kuota awal 23,05 juta KL, sedangkan untuk BBM solar subsidi ditambah 2,73 juta KL dari kuota awal tahun 2022 sebanyak 15,1 juta KL.

Untuk tahun 2023 Pemerintah melalui BPH Migas menetapkan kuota BBM bersubsidi, termasuk jenis Bahan Bakar Tertentu (JBT) seperti minyak tanah (kerosene) sebesar 0,5 Juta Kilo Liter (KL), minyak solar sebesar 17 Juta KL, dan Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan (JBKP/Pertalite) sebesar 32,56 Juta KL.

 

Meningkatnya Harga Minyak Dunia

Kenaikan harga minyak global menyebabkan kebijakan subsidi BBM berbalik menjadi beban APBN. Harga minyak mentah Brent rata-rata mencapai US$94 per barel pada September 2023, menurut data Bank Dunia. Harga minyak dunia menyentuh rekor tertinggi sejak awal tahun pada September 2023, dengan harga minyak mentah Brent sebesar $94 per barel dan minyak mentah WTI sebesar $89,58 per barel. Harganya naik 9% dibanding Agustus 2023 (month-on-month/mom) dan 13% dibandingkan posisi awal tahun (year-to-date/ytd).

Hal ini menyebabkan harga bahan bakar minyak non-subsidi seperti Pertamax, Pertamax Green, PertamaxTurbo, Dexlite, dan Pertamina Dex meningkat.

Kuota subsidi BBM yang telah ditetapkan juga berkontribusi pada kenaikan subsidi BBM. Di dalam CNBC Indonesia News terbitan tanggal 10 Oktober 2023, Erika Retnowati selaku kepala BPH Migas menjelaskan bahwa konsumsi BBM jenis solar subsidi telah mencapai 78% dari kuota yang ditetapkan, yaitu 17 juta kilo liter (kl), hingga 5 Oktober 2023, dan BBM jenis Pertalite telah mencapai 70% dari kuota yang ditetapkan, yaitu 32,56 juta kl.

Erika menambahkan bahwa untuk Pertalite diproyeksikan masih akan mencukupi hingga akhir tahun, tetapi untuk Solar memang diperlukan penambahan. Oleh karena itu, BPH Migas mengusulkan peningkatan kuota untuk BBM subsidi solar. Ini dilakukan untuk memastikan Solar tersedia bagi masyarakat.

CNBC Indonesia News terbitan sebelumnya, yakni 11 Agustus 2023, menyebutkan Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan sebelumnya memperkirakan bahwa kuota subsidi BBM, listrik, dan LPG 3 kg akan habis pada akhir tahun ini. Ini berarti bahwa kuota subsidi mungkin kembali jebol seperti tahun 2022. Dijelaskan oleh Dirjen Anggaran, Isa Rachmatarwata, ada kemungkinan besar kuota itu akan melampaui, karena pola konsumsi masyarakat masih belum terkendali dengan baik seperti pada tahun sebelumnya. Akibatnya, ia meminta otoritas yang relevan untuk mengawasi konsumsi.

 

Kebijakan Pengendalian BBM

Pengurangan subsidi BBM oleh Pemerintah secara bertahap adalah salah satu tujuan dari Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang bertujuan untuk mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan yang dituangkan dalam Program Peningkatan Efektivitas Pengelolaan Keuangan Negara, yaitu Peningkatan Efektivitas Pengeluaran Negara. Kebijakan subsidi BBM Pemerintah adalah untuk jenis BBM tertentu (JBT) yang didistribusikan secara bertahap, sehingga BBM tidak lagi disubsidi oleh Pemerintah.

Tujuan kebijakan pengendalian BBM bersubsidi ini adalah untuk memastikan bahwa subsidi BBM harus diberikan dengan tepat sasaran dan dalam jumlah yang tepat. Jenis BBM yang disubsidi Pemerintah adalah solar premium dan yang digunakan untuk transportasi. Namun, berdasarkan data di lapangan, subsidi ini jatuh pada orang-orang yang tidak seharusnya menerimanya. Adanya praktik penyalahgunaan semacam ini telah menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat, terutama pengguna BBM bersubsidi seperti angkot dan nelayan yang dirampas haknya oleh oknum tidak bertanggung jawab, serta mengakibatkan pula subsidi negara tidak tepat sasaran.

Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi dan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral telah mengembangkan strategi untuk mengurangi subsidi BBM. Strategi ini meliputi: 1. Mengurangi jumlah BBM tertentu melalui pengurangan penggunaan BBM dan pengembangan energi pengganti atau alternatif; 2. Menentukan harga patokan BBM dengan mengurangi biaya distribusi dan menghitung harga keekonomian penyediaan BBM; dan 3. Rasionalisasi harga BBM.

Faktor utama yang memengaruhi kebijakan pengendalian dan pembatasan subsidi BBM adalah memastikan jumlah dan nilai anggaran subsidi BBM tidak meningkat seiring dengan realisasi APBN agar pemerintah dapat mempertahankan ruang gerak fiskal yang lebih baik. Artinya, kebijakan ini ditujukan untuk tujuan jangka pendek. Untuk tujuan jangka panjang, pembatasan dan pengendalian subsidi BBM ini pasti akan sulit untuk mencapai hasil yang memuaskan. Ini karena Indonesia semakin bergantung pada harga dan komoditas bahan bakar minyak impor di pasar internasional, disparitas harga, pertumbuhan populasi, pengendalian kendaraan bermotor, dan perubahan nilai tukar rupiah.

Sayangnya pemberlakuan kebijakan pembatasan dan pengendalian energi BBM bersubsidi ini tanpa melalui tahap sosialisasi yang memadai sehingga kemudian menuai reaksi yang beragam dari masyarakat, ada yang pro dan dan ada yang kontra. Dampak lanjutan dari kebijakan pembatasan dan pengendalian energi BBM bersubsidi yang tidak menguntungkan antara lain munculnya pengecer BBM ilegal, kelangkaan BBM di SPBU, dan penimbunan BBM oleh individu yang tidak bertanggung jawab. Antrian kendaraan berbahan bakar solar, yang menyebabkan kemacetan di jalan-jalan kota dan mengganggu jalur keluar masuk pertokoan yang terletak di sekitar SPBU, adalah keluhan lain yang dirasakan masyarakat.

 

Beban Operasional Pelaku Usaha

Profit dan keuntungan adalah hal terpenting yang harus diperhatikan saat menjalankan suatu bisnis. Sehingga adanya kebijakan pengendalian BBM bersubsidi ini mau tidak mau mempengaruhi biaya produksi maupun distribusi. Dari sudut pandang ekonomi, semua Harga Pokok Penjualan (HPP) yang mengandung komponen BBM pasti akan naik. Dari sudut pandang psikologis, kenaikan harga barang dan jasa tidak selalu terkait dengan kenaikan harga BBM, tetapi karena pengaruh barang lain yang naik, otomatis akan ada penyesuaian. Oleh karena itu, kenaikan harga barang dan jasa tidak dapat dihindari dengan cara apa pun yang akan dilakukan pemerintah untuk membatasi penggunaan bahan bakar subsidi.

Upaya menaikkan harga jual produk atau jasa berisiko menurunkan indeks eceran dan konsumsi dalam satu hingga dua bulan ke depan karena masyarakat akan menyesuaikan belanjanya. Jika konsumsi turun, maka kinerja manufaktur atau industri yang tercermin dari Purchasing Managers' Indexakan mengalami pelemahan. Pelaku usaha saat ini akan menggunakan harga lama untuk meningkatkan penjualan stok lama. Setelah pelaku usaha melakukan pembelian, baru harga akan berubah. Ekonomi nasional pasti akan terkena dampak dari efek berantai ini.

Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi justru mempersulit pelaku usaha dalam menetapkan HPP. Jika saat ini dapat BBM bersubsidi, maka HPP bisa murah. Namun di waktu lain, ketika tidak mendapatkan BBM bersubsidi, maka HPP pasti harus disesuaikan.  Selain itu, 5-8 persen dari HPP merupakan biaya distribusi yang 50% nya dihabiskan untuk membeli BBM.

Pengamat ekonomi Universitas Jenderal SoedirmanPurwokerto, Agung Praptapa, dalam media online Republikterbitan 20 Desember 2010, menilai pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sebagai strategi diskriminasi yang dilakukan pemerintah. Dalam artian, hanya orang-orang ataupihak-pihak tertentu yang boleh membeli bbm bersubsidi. Padahal setiap orang pasti mengedepankan prinsip ekonomissehingga kemungkinan terjadinya penimbunan akan sangat besar. Masih menurut Agung Praptapa, strategi pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi ini sebenarnya baiktetapi dari sisi kontrol sulit dilakukan.

 

Optimalisasi Platform MyPertamina sebagai Salah Satu Alternatif Solusi

MyPertamina adalah aplikasi layanan keuangan digital dariPertamina dan anggota Badan Usaha Milik Negara yang terintegrasi dengan aplikasi LinkAja. Saat ini aplikasi inidigunakan untuk pembayaran bahan bakar minyak secara non-tunai di stasiun pengisian bahan bakar umum Pertamina.Aplikasi ini pertama kali dirilis pada tahun 2016. Platform inisejatinya dapat dioptimalkan fungsinya dalam rangkaklasifikasi penerima bantuan, sosialisasi, penerapan, dan evaluasi kebijakan seperti diuraikan di bawah ini.

  1. Pengklasifikasian pengguna BBM berdasarkanprofesinya melalui akun MyPertamina atau platform digital lainnya. Misalnya pegawai pemerintah dan BUMN, karyawan swasta bidang non jasa, karyawanswasta bidang jasa, UMKM, nelayan, dan lain-lain. Hal ini akan membantu pemerintah mengkaji kebutuhanBBM untuk setiap kalangan masyarakat dan menentukankuota BBM yang adil.
  2. Memperbarui berita-berita tentang latar belakang kajiankebijakan, kebijakan terbaru, dan hal-hal lain terkaitproduk-produk Pertamina pada platform MyPertaminasebagai media sosialisasi kepada masyarakat, khususnyapengguna BBM bersubsidi.
  3. Membuat jadwal pengisian BBM bersubsidi di SPBU terdekat, misalnya waktu tertentu untuk jenis kendaraantertentu atau jenis subsidi BBM tertentu, dan melakukanupgrade harian melalui platform digital dalam rangkamengurangi antrian panjang kendaraan di bahu jalan.
  4. Menerapkan sanksi yang tepat atas setiap pelanggaranyang dilakukan setiap kendaraan secara realtime. Misalnya sanksi dibekukannya SIM bagi pengendarayang terbukti melakukan pelanggaran, langsung melaluiplatform digital MyPertamina yang telah terintegrasidengan SAMSAT atau pihak lain yang berwenang.
  5. Melakukan evaluasi penerapan kebijakan dengandisediakannya item feedback pada platform MyPertamina dalam rangka mendengarkan saran dan kritik pengguna BBM.

Selain itu pemerintah juga sebaiknya mempertimbangkanuntuk mengeluarkan kendaraan pribadi, baik motor maupunmobil, dari daftar penerima BBM bersubsidi.  Pemerintahperlu memperkuat koordinasi pelaksanaan kebijakan di lapangan dengan pihak-pihak terkait seperti pihak distributor BBM, dinas perhubungan, dinas perdagangan, polisi lalulintas, sehingga alur penyaluran dan pengisian BBM  berjalantertib dan efisien. Serta yang tidak kalah penting, agar masyarakat tidak bergantung pada bahan bakar fosil, makapemerintah perlu menyiapkan infrastruktur yang mendukungketersediaan bahan bakar alternatif yang mudah diakses, murah, dan ramah lingkungan.[]

Penulis adalah: Okto Irianto, Dosen Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Musamus | Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Ekonomi, Pascasarjana Universitas Tadulako