MRPS Tegaskan Kepastian Hukum dan Pengakuan Adat dalam Verifikasi Keaslian Calon Gubernur Papua Selatan

Merauke – Proses verifikasi keaslian calon gubernur di Papua Selatan kini menjadi perhatian utama, terutama dalam konteks penerapan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, yang mengatur bahwa calon gubernur dan wakil gubernur harus berasal dari Orang Asli Papua (OAP).


Dr. Yulianus Payzon Aituru, S.H., M.Sc, staf ahli Majelis Rakyat Papua Selatan (MRPS) bidang hukum.

Majelis Rakyat Papua Selatan (MRPS), yang memiliki empat staf ahli berpengalaman, berperan penting dalam proses ini. Tim ahli MRPS terdiri dari Dr. Yulianus Payzon Aituru, S.H., M.Sc (Ahli Hukum), Jermias Martinus Patty, S.H., M.H., Dr. Antonius Nggewaka, S.Sos., M.I. Kom. (Ahli Antropologi), dan Frederika Korain, yang semuanya turut berperan dalam mendukung keputusan-keputusan penting terkait hak-hak Orang Asli Papua.

Dalam wawancara eksklusif, Dr. Yulianus Payzon Aituru, ahli hukum yang terlibat dalam proses ini, memaparkan sejumlah prinsip hukum penting terkait verifikasi keaslian OAP, yang bertujuan memastikan agar setiap proses seleksi calon gubernur tetap berjalan sesuai aturan yang berlaku.

Menegakkan Prinsip Hukum dan Peran Masyarakat Adat

Menurut Dr. Yulianus, verifikasi keaslian calon gubernur harus selalu merujuk pada amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 yang diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021. Kedua undang-undang ini memberikan pedoman jelas tentang syarat keaslian OAP, yaitu bahwa calon harus berasal dari salah satu atau kedua orang tua yang merupakan Orang Asli Papua, atau memiliki pengakuan resmi dari masyarakat adat setempat.

"Proses ini tidak hanya administratif, tetapi juga melibatkan unsur budaya yang sangat penting di Papua. Pengakuan adat menjadi salah satu syarat utama, dan kita perlu menghormati keputusan masyarakat adat dalam mengakui status keaslian seseorang sebagai bagian dari Orang Asli Papua," ujar Dr. Yulianus.

Dalam konteks ini, Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 juga memberikan landasan konstitusional bagi pengakuan masyarakat adat. Pasal tersebut menegaskan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional mereka, selama masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kewenangan Majelis Rakyat Papua Selatan yang Terbatas

Salah satu poin penting yang ditekankan oleh Dr. Yulianus adalah kewenangan terbatas yang dimiliki oleh Majelis Rakyat Papua Selatan (MRPS) dalam proses verifikasi ini. Menurutnya, meskipun MRPS diberikan tugas untuk memberikan pertimbangan terkait keaslian calon gubernur dan wakil gubernur, kewenangan untuk menafsirkan undang-undang sepenuhnya merupakan domain Mahkamah Konstitusi (MK), sesuai dengan ketentuan Pasal 24C UUD 1945.

"Penafsiran undang-undang bukan kewenangan MRPS. Mahkamah Konstitusi memiliki peran eksklusif dalam hal ini. Oleh karena itu, tugas kita adalah mengikuti aturan yang sudah ada dan memberikan pertimbangan berdasarkan fakta hukum yang ada, termasuk pengakuan dari masyarakat adat," jelas Dr. Yulianus.

Pandangan ini didasarkan pada prinsip kepastian hukum, di mana lembaga-lembaga negara harus bertindak sesuai dengan batasan kewenangan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, MRPS harus bertindak sebagai lembaga yang menjalankan aturan, bukan sebagai penafsir undang-undang.

Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi sebagai Pedoman Hukum

Penguatan dalil-dalil hukum dalam proses verifikasi keaslian calon gubernur di Papua Selatan sangat tergantung pada yurisprudensi yang telah dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satu yang menjadi acuan penting adalah Putusan MK Nomor 29/PUU-X/2012, yang secara tegas memberikan landasan tentang bagaimana menentukan keaslian Orang Asli Papua (OAP) dalam pemilihan kepala daerah.

Dalam putusan tersebut, MK menguraikan beberapa dalil hukum penting yang memperkuat posisi pengakuan adat sebagai elemen utama dalam verifikasi keaslian OAP. Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 digunakan sebagai landasan konstitusional untuk menjelaskan bahwa masyarakat hukum adat memiliki hak untuk mengatur urusan internal mereka sendiri, termasuk mengakui siapa saja yang dianggap sebagai anggota sah komunitas adat tersebut. Dalil ini menekankan bahwa pengakuan adat bukan sekadar formalitas, tetapi merupakan hak konstitusional yang harus dihormati dalam sistem hukum nasional.

Dalam putusannya, MK juga merujuk pada Pasal 1 Ayat (22) UU Nomor 2 Tahun 2021, yang memperkuat bahwa pengakuan adat dan hubungan genealogis adalah unsur penting dalam menentukan status keaslian OAP. MK menggarisbawahi bahwa pengakuan adat harus berdasarkan hubungan nyata antara individu tersebut dan komunitas adatnya, yang berarti bahwa calon tidak hanya harus memiliki garis keturunan dari OAP, tetapi juga harus diakui oleh masyarakat adat setempat.

Lebih lanjut, Pasal 24C UUD 1945 memberikan kewenangan kepada MK untuk menguji undang-undang terhadap UUD, dan dalam kasus ini, MK memutuskan bahwa undang-undang yang mengatur tentang keaslian OAP tidak bertentangan dengan UUD 1945, melainkan harus ditafsirkan secara komprehensif dengan memperhatikan budaya dan hak masyarakat adat.

Dalam analisisnya, MK juga menyatakan bahwa tidak ada tafsir tunggal mengenai siapa yang dapat dikategorikan sebagai OAP, karena ini bergantung pada pengakuan adat, yang merupakan elemen yang dinamis dan dapat bervariasi di antara suku-suku asli di Papua. Namun, MK menegaskan bahwa dalam semua kasus, pengakuan adat harus didasarkan pada legitimasi masyarakat adat dan tidak boleh diputuskan oleh pihak luar atau otoritas yang tidak memiliki hubungan langsung dengan komunitas tersebut.

Oleh karena itu, dalil hukum ini memperkuat bahwa pengakuan adat dan hubungan genealogis harus dijadikan dasar utama dalam verifikasi keaslian calon gubernur di Papua Selatan. Dr. Yulianus secara tepat merujuk pada putusan MK ini sebagai pedoman hukum yang kuat untuk memastikan bahwa MRPS dapat menjalankan tugasnya dengan kepastian hukum dan tanpa melanggar ketentuan yang berlaku.

Tantangan Multitafsir dalam UU Otonomi Khusus

Meskipun undang-undang memberikan panduan terkait keaslian OAP, Dr. Yulianus mengakui bahwa terdapat multitafsir dalam beberapa pasal yang dapat memicu perdebatan. Salah satu contoh adalah definisi OAP dalam UU yang belum memberikan batasan yang sangat tegas, sehingga sering menimbulkan perbedaan penafsiran di lapangan.

"UU memang belum memberikan batasan langsung tentang kriteria keaslian yang sangat spesifik. Hal ini yang sering kali menimbulkan multitafsir. Oleh karena itu, kita harus sangat berhati-hati dalam menjalankan proses ini dan memastikan bahwa kita mengikuti pedoman yang sudah ada, termasuk yurisprudensi Mahkamah Konstitusi," kata Dr. Yulianus.

Namun demikian, Pasal 1 Ayat (22) UU Nomor 2 Tahun 2021 memberikan definisi bahwa OAP adalah seseorang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Papua atau diakui sebagai OAP oleh pengakuan adat. Definisi ini menjadi acuan utama bagi MRPS dalam menentukan keaslian kandidat.

Transparansi dan Keadilan dalam Proses Verifikasi

Selain kepatuhan pada undang-undang, Dr. Yulianus juga menekankan pentingnya transparansi dan keadilan dalam proses verifikasi. Menurutnya, proses ini harus dilakukan secara terbuka dan adil, agar tidak menimbulkan kecurigaan atau ketegangan di masyarakat.

“Setiap tahap verifikasi harus dilakukan dengan transparansi, sehingga para calon dan masyarakat bisa memahami dan menerima hasil keputusan yang diambil. Keputusan yang tidak transparan atau dianggap tidak adil dapat memicu konflik sosial, dan ini tentu harus dihindari,” ujarnya.

Prinsip keadilan dalam hukum mensyaratkan bahwa semua pihak, termasuk calon yang sedang diverifikasi, mendapatkan perlakuan yang setara dan adil. Hal ini sangat penting dalam menjaga stabilitas sosial dan politik di Papua Selatan, terutama dalam konteks pemilihan kepala daerah yang kerap kali menimbulkan ketegangan politik.

Kesimpulan

Pernyataan yang disampaikan oleh Dr. Yulianus Payzon Aituru memberikan pandangan yang jelas mengenai pentingnya penerapan hukum dalam proses verifikasi keaslian calon gubernur di Papua Selatan. Dengan mengikuti pedoman yang ditetapkan oleh Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, yurisprudensi Mahkamah Konstitusi, serta peran penting pengakuan adat, MRPS memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan proses berjalan sesuai dengan prinsip kepastian hukum dan keadilan.