Sejuta Mimpi dan Harapan Anak Negeri Papua Selatan: Terkubur dalam Sejarah Kelam Anak Marind


Di atas hamparan rawa dan sabana luas di ujung timur Indonesia, anak-anak suku Marind tumbuh dengan sejuta harapan yang menggantung di langit Merauke. Mereka lahir dari rahim bumi yang subur, dibesarkan dalam tradisi luhur yang telah diwariskan turun-temurun. Namun, mimpi-mimpi itu kerap terkubur dalam diam, tertinggal oleh arus pembangunan yang tidak selalu menyentuh kehidupan mereka secara adil dan merata.

Anak-anak Papua Selatan, khususnya dari komunitas Marind, masih menghadapi tantangan mendasar dalam mengakses pendidikan yang layak. Jarak tempuh ke sekolah yang jauh, guru-guru yang tidak menetap, buku-buku yang tak kunjung tiba, hingga sistem pendidikan yang belum memahami identitas kultural mereka, menjadi deretan realitas yang membatasi ruang tumbuh dan berkembang.

Di balik senyum mereka yang polos, tersembunyi satu pertanyaan besar: Apakah kami juga berhak bermimpi sebesar anak-anak lain di negeri ini? Sebuah pertanyaan yang lahir dari kesadaran akan ketimpangan dan keterpinggiran yang telah berlangsung terlalu lama.

Dalam sejarah pembangunan nasional, suara dan aspirasi masyarakat Marind acap kali luput dari perhatian. Padahal pendidikan yang sejatinya menjadi alat pembebas justru berubah menjadi beban, karena tidak mengenali akar budaya lokal sebagai kekuatan. Bahasa ibu tergantikan oleh bahasa pengantar yang asing, identitas kultural terpinggirkan, dan ruang-ruang kelas menjadi tempat kehilangan jati diri.

Namun demikian, harapan belum padam. Dalam keterbatasan yang ada, masih menyala semangat juang dari anak-anak Marind yang ingin belajar, mengajar, dan turut membangun masa depan bangsanya. Mereka mulai didampingi oleh guru-guru berdedikasi dan komunitas yang mulai menyadari pentingnya pendidikan berbasis budaya. Proses ini menandai titik balik: bahwa pendidikan yang kontekstual, inklusif, dan berakar pada nilai-nilai lokal adalah kebutuhan mendesak.

Peringatan Hari Pendidikan Nasional harus menjadi momentum untuk mendengar suara-suara dari pinggiran. Bukan sekadar data dan program kerja, tetapi refleksi menyeluruh atas siapa yang selama ini tersisih dari sistem. Anak-anak Marind tidak ingin sekadar menjadi objek pembangunan; mereka ingin menjadi subjek sejarah baru yang menulis narasinya sendiri, dengan bahasa, nilai, dan mimpi yang mereka miliki.

Mimpi-mimpi itu belum musnah. Mereka hanya butuh ruang untuk tumbuh, peluang untuk diwujudkan, dan pengakuan yang setara dari negara. Karena pendidikan sejatinya bukan hanya tentang akses, tetapi tentang keadilan.

Oleh: Lambertus Ayiriga, S.Pd., M.Pd. Dosen Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Musamus Merauke