- Bahlil dan Agus Kartasasmita Diduga Punya Masalah yang Mirip Airlangga Hartarto
- Pencawapresan Gibran Bertentangan dengan Putusan MK No 141
- PP GMKI Dukung Menag Yaqut Menghapus Rekomendasi FKUB dalam Pendirian Rumah Ibadah
Baca Juga
Pendaftaran calon Rektor Universitas Musamus Merauke akan segera ditutup dalam hitungan hari. Namun hingga kini, belum satu pun nama yang secara resmi mendaftar sebagai kandidat. Keheningan ini tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Bagi kami anak-anak asli Papua Selatan, situasi ini adalah alarm keras tentang krisis keberanian dan tanggung jawab. Universitas Musamus bukan sekadar lembaga pendidikan tinggi. Ia adalah simbol perjuangan, hasil jerih payah panjang masyarakat Papua Selatan dalam memperjuangkan akses terhadap pendidikan tinggi yang adil dan bermartabat di wilayah paling timur Indonesia.
Unmus lahir dari kehendak kolektif masyarakat lokal yang mendambakan ruang belajar yang tidak hanya mendidik, tetapi juga memahami dan memperjuangkan nilai-nilai kultural, sosial, dan politik masyarakat Papua Selatan. Ketika kampus ini kehilangan keterlibatan aktif dari anak negerinya dalam proses regenerasi kepemimpinan, maka yang terancam bukan hanya kursi rektor, melainkan arah perjuangan dan kedaulatan institusi ini sendiri.
Kepemimpinan di perguruan tinggi bukan hanya soal kapasitas administratif atau gelar akademik. Ia berkaitan erat dengan keberpihakan, kepekaan sosial, dan komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat. Kampus ini tidak bisa dipimpin oleh mereka yang hanya membawa visi dari luar, tetapi harus oleh mereka yang tumbuh dan memahami tanah ini, yang tahu persis bagaimana rasanya berjuang untuk bertahan dalam sistem yang sering kali melupakan pinggiran. Unmus membutuhkan pemimpin yang mengakar, yang bukan hanya cerdas secara akademik, tetapi juga kuat dalam membela aspirasi lokal.
Hari ini, kita tidak kekurangan sumber daya manusia. Banyak anak-anak Papua Selatan yang telah meraih pendidikan tinggi, mengantongi gelar magister, doktor, bahkan profesor. Mereka memiliki pengalaman manajerial dan telah membuktikan kapasitasnya di berbagai bidang. Maka pertanyaannya bukan lagi apakah kita mampu, tetapi mengapa kita belum melangkah? Apakah kita masih terkungkung dalam trauma sejarah marginalisasi, ataukah sistem seleksi yang masih menyisakan diskriminasi struktural? Apa pun alasannya, kita tidak bisa terus menerus menunggu keadilan datang dari luar. Saatnya kita tampil bukan hanya sebagai pengkritik, tetapi sebagai penggerak perubahan.
Diamnya anak negeri adalah celah bagi kekuatan luar untuk terus mendikte arah lembaga ini. Kita harus menyadari bahwa representasi bukan soal etnisitas sempit, melainkan soal keadilan. Kita bukan menolak kehadiran orang lain, tetapi menuntut ruang yang adil bagi putra-putri Papua Selatan untuk mengambil tanggung jawab di rumahnya sendiri. Jika kursi rektor selalu diisi oleh mereka yang tidak memahami denyut nadi masyarakat lokal, maka Unmus akan terus menjauh dari jati dirinya.
Inilah waktunya untuk bangkit dan mengambil peran. Jika kita sungguh mencintai kampus ini, maka tampil sebagai pemimpin adalah bentuk cinta yang paling nyata. Universitas Musamus harus menjadi tempat di mana anak negeri tidak hanya belajar, tetapi juga memimpin. Jangan biarkan panggung ini kembali dikuasai oleh mereka yang tidak mengerti isi hati masyarakat Papua Selatan. Masa depan pendidikan tinggi di wilayah ini sangat ditentukan oleh siapa yang duduk di kursi rektor hari ini.
Waktu kita tidak banyak. Tapi suara kita, harapan kita, dan tanggung jawab kita masih utuh. Jangan biarkan kursi rektor kembali terlepas hanya karena kita terlalu lama diam. Anak negeri Papua Selatan, saatnya bangun dan berdiri. Ini kampus kita. Ini masa depan kita.
Oleh: Lambertus Ayiriga, S.Pd., M.Pd., Dosen Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Musamus Merauke
- Posisi Penting Indonesia Pada Konflik Global dan Kerentanan Kawasan
- Teguh Santosa Berharap Amerika Serikat Dapat Mengakhiri Blokade Terhadap Negara Kuba
- Penjabat Kepala Daerah dan Good Governance