Peringatan Hari Pendidikan Nasional setiap 2 Mei tidak hanya menjadi momentum mengenang jasa besar Ki Hadjar Dewantara, tetapi juga menjadi ruang refleksi atas peran pendidikan dalam memperkuat sendi-sendi demokrasi kita. Dalam konteks tersebut, pendidikan politik atau literasi politik perlu mendapat perhatian lebih sebagai landasan penting dalam membangun pengawasan pemilu yang partisipatif, sadar hukum, dan relevan dengan nilai-nilai lokal.
- Pendidikan Merdeka Belajar dan Peran Pentingnya dalam Literasi Budaya
- Bukan Yunani Tetapi Singosari
- Peran Strategis Ketua Umum dan Mantan Ketua Umum KADIN Indonesia dalam Pilpres 2024
Baca Juga
Di Kabupaten Biak Numfor, literasi politik bukan sekadar kebutuhan tambahan, melainkan prasyarat utama untuk mewujudkan pengawasan pemilu yang inklusif, kritis, dan kontekstual. Literasi politik mencakup pemahaman warga terhadap hak dan kewajiban politik, mekanisme pemilu, hingga kemampuan menilai secara janji dan perilaku para calon dalam kompetisi pemilihan. Hal ini menjadi krusial, mengingat struktur sosial masyarakat Biak Numfor yang masih sangat dipengaruhi oleh relasi adat, agama, dan kekeluargaan.
Dalam situasi seperti ini, literasi politik berfungsi sebagai alat penyaring terhadap praktik-praktik manipulasi politik, termasuk mobilisasi berbasis hubungan informal yang kerap membatasi kebebasan memilih secara merdeka. Penelitian menunjukkan bahwa rendahnya pemahaman politik membuat masyarakat lebih rentan terhadap politik uang, penyebaran hoaks, serta tekanan sosial yang mengarah pada pilihan tidak otonom (Mietzner, 2020). Sebaliknya, ketika masyarakat memiliki tingkat literasi politik yang baik, mereka cenderung lebih kritis, aktif, serta memiliki keberanian untuk melaporkan pelanggaran secara mandiri.
Namun kenyataannya, literasi politik masih belum menjadi perhatian utama baik dalam kurikulum pendidikan formal maupun dalam agenda strategis kelembagaan kepemiluan. Bawaslu, sebagai lembaga pengawas pemilu, tentu memikul mandat penting dalam membangun kesadaran politik masyarakat. Akan tetapi, tantangan yang dihadapi tidak sedikit. Keterbatasan sumber daya manusia dan anggaran, terbatasnya kolaborasi antar pemangku kepentingan, serta kompleksitas geografis wilayah kepulauan masih menjadi kendala serius dalam membumikan pendidikan politik yang menyentuh semua lapisan masyarakat.
Laporan pengawasan Pilkada 2024 oleh Bawaslu Biak Numfor menunjukkan bahwa hanya sekitar 54% pelanggaran yang dilaporkan langsung oleh warga, selebihnya berasal dari inisiatif dan temuan pengawasan kelembagaan. Hal ini menjadi indikator bahwa kesadaran masyarakat dalam melaporkan pelanggaran secara aktif masih relatif rendah.
Dalam kerangka tersebut, literasi politik perlu diposisikan sebagai infrastruktur lunak (soft infrastructure) yang tidak kalah penting dibandingkan logistik atau regulasi teknis pemilu. Oleh karena itu, pendekatan pendidikan politik perlu dirancang secara adaptif dan berbasis lokal. Pelibatan institusi pendidikan, gereja, komunitas adat, serta organisasi kepemudaan menjadi kunci dalam merancang program literasi yang relevan dengan dinamika sosial masyarakat Biak Numfor.
Model-model seperti Kampung Pengawasan, Sekolah Kader Pengawas Partisipatif, hingga Forum Warga Pemilu dapat dioptimalkan sebagai sarana menjembatani wacana demokrasi nasional dengan praktik demokrasi lokal. Dalam teori Civic Culture yang dikemukakan Almond dan Verba (1963), keberlanjutan demokrasi sangat ditentukan oleh keterlibatan warga negara dalam proses politik secara sadar dan aktif. Masyarakat partisipatif adalah masyarakat yang tidak hanya mengikuti, tetapi juga mengawasi dan menjaga jalannya demokrasi.
Pengalaman pengawasan dalam Pilkada 2024 menunjukkan bahwa ketika masyarakat dilibatkan sejak awal melalui pendidikan politik yang inklusif, mereka menjadi lebih responsif dan berani menyuarakan pelanggaran yang terjadi. Kegiatan sosialisasi yang melibatkan tokoh adat dan pemuda terbukti efektif dalam membuka ruang diskusi publik yang selama ini tertutup oleh tabu politik atau dominasi elite.
Kita meyakini bahwa penegakan hukum pemilu tidak akan pernah cukup efektif tanpa dukungan dari masyarakat yang melek politik. Tanpa literasi politik yang memadai, pengawasan akan terus bersifat reaktif dan tidak mampu mencegah pelanggaran sejak dini. Literasi politik menjadikan masyarakat bukan sekadar objek pemilu, tetapi subjek yang aktif menjaga integritas demokrasi.
Momentum Hari Pendidikan Nasional tahun ini sejatinya menjadi pengingat bahwa penguatan demokrasi harus dimulai dari pendidikan warga. Literasi politik bukan sekadar pelengkap, melainkan fondasi utama yang menentukan kualitas dan legitimasi seluruh proses elektoral. Di tengah tantangan geografis dan kultural yang dihadapi Biak Numfor, literasi politik adalah cahaya di tengah kompleksitas demokrasi. Tugas kita bersama adalah memastikan cahaya ini tidak padam, melainkan terus menyala dalam setiap proses demokrasi yang kita jalani.
Oleh Dahlan, Penulis adalah Komisioner Bawaslu Kabupaten Biak Numfor atau Dosen IISIP Yapis Biak
- Antara Ankara dan Penajam
- Wartawan Sejati, Tidak Ikut Bingung dengan Hingar Bingar Politik
- Haruskah HMI Bubar ( Renungan 74 Tahun HMI)