- Jurnalisme Malas
- Minimnya Optimalisasi Penggunaan Sistem Informasi Dalam Pelayanan Oleh Pemda di Era Digitalisasi
- Jumat Agung dan Ramadhan, Memahami Nilai Universal Setiap Agama
Baca Juga
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) selalu menjadi ajang demokrasi yang menarik perhatian. Namun, dalam pelaksanaannya, perselisihan sering muncul, terutama menyangkut hasil pemilihan. Dalam konteks ini, Mahkamah Konstitusi (MK) memainkan peran vital sebagai penjaga keadilan dalam menyelesaikan sengketa hasil Pilkada, terutama yang terkait dengan pelanggaran Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM). Artikel ini akan membahas ketentuan TSM, beberapa kasus yang pernah dikabulkan, dan tantangan dalam pembuktiannya.
Ketentuan Ambang Batas dan Pelanggaran TSM
Menurut Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, ambang batas selisih suara ditentukan berdasarkan jumlah penduduk daerah yang bersangkutan. Ambang batas selisih suara diatur dalam Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Aturan ini bertujuan untuk menyaring gugatan yang signifikan, mencegah pemborosan waktu dan sumber daya akibat sengketa yang tidak berdampak material pada hasil pemilu. Berikut ketentuan ambang batas berdasarkan jumlah penduduk:
- Pemilihan Bupati/Wali Kota:
- Penduduk ≤ 250 ribu jiwa: selisih suara maksimal 2%.
- Penduduk 250 ribu - 500 ribu jiwa: maksimal 1,5%.
- Penduduk 500 ribu - 1 juta jiwa: maksimal 1%.
- Penduduk > 1 juta jiwa: maksimal 0,5%.
- Pemilihan Gubernur:
- Penduduk ≤ 2 juta jiwa: maksimal 2%.
- Penduduk 2 juta - 6 juta jiwa: maksimal 1,5%.
- Penduduk 6 juta - 12 juta jiwa: maksimal 1%.
- Penduduk > 12 juta jiwa: maksimal 0,5%.
Namun, Pasal 158 ayat (2) menyebutkan bahwa ambang batas ini dapat diabaikan jika terdapat pelanggaran TSM yang terbukti memengaruhi hasil pemilu. Ketentuan ini menggarisbawahi pentingnya keadilan substantif dalam menjaga integritas demokrasi.
Pelanggaran TSM diartikan sebagai pelanggaran yang:
- Terstruktur: Dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kewenangan atau organisasi yang terorganisir.
- Sistematis: Dirancang dan direncanakan untuk memengaruhi hasil pemilu.
- Masif: Berdampak luas pada proses pemilu atau hasil perolehan suara.
Ketentuan ini menjadi landasan penting bagi MK dalam memutuskan sengketa hasil Pilkada, terutama ketika pelanggaran TSM terbukti secara hukum.
Tantangan Pembuktian Pelanggaran TSM
Meskipun ketentuan mengenai TSM memberikan ruang bagi penggugat untuk mengajukan gugatan, membuktikan pelanggaran ini tidaklah mudah. Penggugat harus menghadapi tantangan berikut:
1. Membuktikan Elemen Terstruktur
- Penggugat harus menunjukkan adanya keterlibatan organisasi atau pihak berwenang, seperti aparat pemerintah, dalam pelanggaran. Ini memerlukan dokumen atau saksi yang kuat untuk membuktikan adanya perintah terorganisir.
2. Menunjukkan Sistematisnya Pelanggaran
- Pelanggaran yang terjadi harus dirancang dengan strategi tertentu, bukan tindakan sporadis. Bukti perencanaan, seperti komunikasi internal pelaku, menjadi elemen penting dalam pembuktian.
3. Membuktikan Dampak Masif
- Pelanggaran harus berdampak signifikan pada hasil pemilu, baik dalam skala geografis maupun jumlah suara. Penggugat perlu menghadirkan data yang menunjukkan hubungan langsung antara pelanggaran dan perubahan hasil pemilu.
4. Ketersediaan Alat Bukti
- Bukti yang diperlukan meliputi dokumen, saksi, rekaman video, atau laporan resmi. Kurangnya alat bukti yang kredibel sering menjadi kendala utama dalam membuktikan pelanggaran TSM.
Pentingnya Ketelitian dan Kehati-hatian Penggugat
Dalam mengajukan gugatan ke MK, penggugat harus memahami bahwa setiap klaim harus didukung oleh bukti yang valid. MK memiliki prosedur yang ketat dalam menilai apakah pelanggaran TSM benar-benar terbukti atau hanya bersifat asumsi.
Strategi yang Harus Diterapkan Penggugat
- Mengumpulkan Bukti Sebelum Pemilu: Jika ada indikasi pelanggaran sebelum pemilu, bukti tersebut harus segera didokumentasikan.
- Melibatkan Tim Hukum yang Kompeten: Penggugat memerlukan tim hukum yang memahami prosedur MK dan mampu menyusun argumen hukum yang kuat.
- Fokus pada Dampak Langsung: Penggugat harus dapat menunjukkan bagaimana pelanggaran TSM memengaruhi hasil pemilu secara langsung, bukan hanya pelanggaran etis atau administratif.
Data Terkini Pilkada 2024: Gugatan yang Masuk ke MK
Hingga Desember 2024, Mahkamah Konstitusi telah menerima 206 permohonan sengketa hasil Pilkada. Rinciannya adalah:
- 166 permohonan untuk pemilihan bupati.
- 39 permohonan untuk pemilihan wali kota.
- 1 permohonan untuk pemilihan gubernur (Provinsi Papua Selatan).
Sebagian besar gugatan berpusat pada klaim manipulasi hasil suara, politik uang, atau pelanggaran administrasi. Namun, hanya sebagian kecil gugatan yang melibatkan pelanggaran TSM, mengingat kompleksitas pembuktiannya.
Kesimpulan
Mahkamah Konstitusi memiliki peran penting dalam menjaga keadilan dan integritas Pilkada, terutama ketika terjadi pelanggaran TSM. Kasus-kasus seperti di Kabupaten Yalimo dan Dogiyai menjadi contoh bagaimana MK menegakkan keadilan substantif. Namun, membuktikan pelanggaran TSM bukanlah tugas yang mudah. Penggugat harus memiliki bukti yang kuat dan menyusun argumen hukum yang tepat.
Pelanggaran TSM tidak hanya melanggar prinsip demokrasi, tetapi juga mencoreng kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemilu. Oleh karena itu, ketelitian dan kehati-hatian menjadi kunci bagi penggugat untuk memastikan bahwa gugatan yang diajukan ke MK dapat diterima dan diproses sesuai dengan aturan hukum. Dengan demikian, MK dapat terus menjadi benteng terakhir dalam menegakkan keadilan pemilu di Indonesia.
Penulis adalah Nasri Wijaya,S.H.,S.Sos.,M.H yang merupakan akademisi dan pengajar mata kuliah Hukum tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Musamus
- Menyikpai Surat Perintah Mendagri Tentang Pelaksa Harian (PLH) Gubernur Papua Dalam Meredam Kisruh Di Papua
- Harmoni Hukum untuk Pemuda Berkarya di Kabupaten Merauke: Membangun Kesadaran Hukum dan Kepemimpinan Generasi Berintegritas
- STATUS KEPEMILIKAN PENGETAHUAN LOKAL SUKU MARORI