Notaris Aloisius Dumatubun mengungkapkan dugaan praktik mafia tanah di Merauke, Papua, yang melibatkan sejumlah pejabat di Kantor Pertanahan Merauke dan Kanwil BPN Papua.
- Kebakaran Di Biak Kota, Satu Orang Meninggal Dunia
- Bersinergi Bersama Warga Bersihkan Pohon Tumbang Yang Menutupi Badan Jalan
- Penemuan Mayat di Kamar Kost, Gegerkan Warga Belakang Pasar Youtefa
Baca Juga
Ia meminta pemerintah pusat, termasuk Presiden Prabowo Subianto dan Menteri ATR/BPN, untuk segera turun tangan menyelesaikan persoalan ini, yang telah berlarut selama lebih dari 14 tahun.
Aloisius menjelaskan bahwa kasus ini bermula pada tahun 2009, saat dirinya ditunjuk untuk menangani pelepasan hak atas tanah guna pembangunan Universitas Musamus. Ia mengklaim telah memproses dokumen, termasuk sertifikat tanah, sesuai prosedur yang berlaku. Namun, sertifikat tersebut dinyatakan hilang setelah diserahkan kepada Kantor Pertanahan Merauke, dan kemudian muncul sertifikat baru dengan luas tanah berbeda.
Ia menduga hilangnya sertifikat tanah tersebut merupakan bagian dari praktik manipulasi dokumen yang dilakukan oleh oknum tertentu. Menurutnya, ada tumpang tindih antara sertifikat tanah tahun 2009 dengan sertifikat lama yang diterbitkan berdasarkan Surat Keputusan Kanwil BPN Papua tahun 1995. Hal ini memperkuat indikasi adanya pelanggaran.
Aloisius juga mempertanyakan prosedur penerbitan sertifikat baru tanpa laporan resmi terkait kehilangan dokumen sebelumnya. “Ini tanggung jawab Kantor Pertanahan. Jika ada dokumen yang hilang, seharusnya dilaporkan kepada pihak berwenang untuk penyelidikan. Namun, kenyataannya, sertifikat baru diterbitkan tanpa dasar yang jelas,” ujarnya.
Ia berharap Presiden Prabowo Subianto, Menteri ATR/BPN, serta pejabat terkait segera turun langsung ke Merauke untuk mengaudit Kantor Pertanahan dan Kanwil BPN Papua, yang ia sebut sebagai “gudang mafia tanah terbesar di Indonesia.”
Aloisius menyatakan bahwa masyarakat Merauke, khususnya para pemilik tanah, telah dirugikan akibat konflik sertifikat ini. Ia juga mengaku kecewa karena laporannya, yang telah disampaikan sejak 2010, belum mendapatkan perhatian yang memadai dari pihak berwenang.
“Sudah 14 tahun, tapi keadilan belum juga ditegakkan. Ini bukan hanya soal saya, tapi juga hak masyarakat Papua yang harus dilindungi,” tambahnya.
Kasus ini mencerminkan persoalan serius dalam tata kelola pertanahan di Indonesia. Aloisius mendesak adanya langkah konkret untuk menyelesaikan persoalan ini, demi memastikan transparansi dan keadilan bagi masyarakat yang terdampak.
- Warga Sipil di Ilaga Kembali Menjadi Korban Akibat Serangan Brutal KST
- OPM Intan Jaya Aniaya Warga Sipil di Distrik Paniai Timur Hanya Karena Memiliki Laptop
- PWI Papua Barat Daya Kecam Oknum Anggota TNI AL di Duga Intimidasi Jurnalis Sorong