Papua Tema Sentral: Sebuah Konsep Pendekatan Terhadap Masyarakat Papua

Marthen Luter Wambarop adalah seorang tokoh intelektual Boven Digoel yang saat ini menjabat sebagai Ketua Gerakan Merah Putih Republik Indonesia (GMPI) Boven Digoel serta Sekretaris Umum SGM-P RI. 
Marthen Luter Wambarop adalah seorang tokoh intelektual Boven Digoel yang saat ini menjabat sebagai Ketua Gerakan Merah Putih Republik Indonesia (GMPI) Boven Digoel serta Sekretaris Umum SGM-P RI. 

PAPUA TEMA SENTRAL

Papua menjadi bahan pendiskusian di berbagai media, bukan hanya skala regional namun, secara nasional dan bahkan internasional turut membicarakannya. Banyak pertanyaan menggantung yang harus dijawab bersama-sama demi nilai-nilai nasionalisme. 

Harus mengakui bahwa ada New Nasionalisme (Nasionalisme Baru) yang tumbuh di Papua secara diam dan terbuka, new nasionalisme muncul konon katanya atas dasar memoria passionis. Hemat kami tidak demikian, ada persekongkolan habis-habisan di era tertentu antara Allen Dulles, Sukarno, dan Kennedy demi kebutuhan ekonomi global (dalam buku Greg Poulgrain: Bayang-Bayang Intervensi).

Papua menjadi tema sentral dan tentunya diminati dari berbagai kalangan termasuk lingkungan civitas akademik. Banyak penulis mencoba menjelaskan bahwa bangsa kulit hitam serta rambut keriting itu tidak mengalami masa penjajahan Belanda. Disinilah terjadi legal irregularities (penyimpangan hukum) antara sesama orang asli Papua dan mulai diikuti oleh beberapa individu non Papua dengan dalih HAM. 

Bila situasi tersebut diparalelkan dengan bangsa Ladakh di India utara sangat mempunyai korelasi sejarahnya. Bahwa setelah perang dunia kedua usai, banyak negara-negara Eropa yang ingin mencari suasana baru guna mencairkan batin mereka dan disana ketika bangsa Jerman memilih menikmati keindahan alam di India Timur yang masih eksotik dalam konsep pariwisata, di sanalah mereka sadar bahwa bangsa Ladakh belum cukup pengertiannya sehingga sangat mudah dijajah secara etis dengan memberikan harapan kebebasan. 

Ternyata yang didapatkan oleh bangsa Ladakh adalah stigma dreckiger Schwein yang bila diartikan ke bahasa Indonesia adalah Babi Kotor (dalam buku Vandana Shiva dan Maria Mies: Ekofeminis). Jadi yang perlu di garis bawahi adalah Papua Awal dijajah secara etis oleh kolonial Belanda, lalu bila bersandar pada kasus bangsa Ladakh, siapakah yang akan bertanggung jawab atas kekeliruan sejarah dan bahkan kematian nyawa generasi manusia Papua ini. 

Jujur saja tokoh Papua yang belum clear soal sejarah dalam artian menyampaikan batas dan tingkatan kontradiksi sampai dimana, sebab generasi Papua hari ini tidak hanya menjadi bagian untuk menghormati dan menjadi generasi konsumen media semata-mata tanpa ada edukasi yang basisnya kontradiktif.

Jadi perlu untuk menegakkan benang basa sejarah Papua secara seksama guna menghindari berbagai persoalan yang akan merugikan kebutuhan hidup sebagai sesama anak bangsa Indonesia didalam naungan Bhinneka Tunggal Ika. 

Itulah tujuan dari pada kemajemukan yang pernah didapatkan oleh Wakil Presiden RI pertama, Mohammad Hatta bahwa Irian Jaya (Papua) di sidang BPUPKI tahun 1965, tidak mesti dilibatkan ke dalam bingkai kesatuan Indonesia, debat pun berlangsung antara bung Hatta dan Muhammad Yamin. Namun, bung Hatta tidak sepakat dengan pendekatannya Yamin bahwa batas wilayah Indonesia itu sampai ke wilayah Thailand sekarang karena mengikuti bekas wilayah kerajaan Majapahit.

Hatta justru mengedepankan prinsip Uti Possidetis Juris “ wilayah kita mengikuti bekas wilayah (jajahan) Belanda”. Sehingga dengan sangat jelas menggambarkan bahwa Irian Jaya (Papua) adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kemudian pelaksanaan untuk menentukan nasib sendiri hanya bisa dilakukan sekali dan untuk selamanya. Ini mengacu kepada kebiasaan hukum internasional Self determination Indonesia sudah selesai, pada tanggal 17 Agustus 1945, wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Itu sekali dan untuk selamanya.

 

PENDEKATAN MASYARAKAT PAPUA MENJADI TEMA SENTRAL

Ancaman politik electoral menjadi salah satu indikator yang turut serta menciptakan berbagai gejolak di Provinsi Papua, yang dikatakan oleh Plato sebagai ‘tempat yang bertabur matahari’. Tema sentral di Pulau Nuu Waar ini tidak terlepas pada Ekonomi dan Politik. 

Dari awal Irian Jaya (Papua) menjadi alat tukar Nazi Jerman pada Nederland, ini sangat jelas dan bisa ditemukan. Sehingga ada enam indikator yang dapat ditelaah bersama-sama demi keharmonisan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

Pertama adalah perlu mempertegas kekhususan dalam hal politik, pemerintah pusat harus memberikan afirmasi politik yang jelas kepada pemerintah daerah di Papua, langsung saja di undang-undangkan, contohnya di kabupaten Boven Digoel kalau kursi legislatif sebanyak 20 maka 15 kursi harus milik orang asli papua, selesai. 

Kedua adalah ada kelompok masyarakat Papua yang dari awal ketika Irian Jaya (Papua) bergabung ke NKRI mereka benar-benar tidak setuju dan tidak ingin bergabung kesana, jujur saja kelompok itu ada, namun perlu dengan pendekatan-pendekatan yang persuasif.

Ketiga yakni generasi yang lahir di waktu DOM (Daerah Operasi Militer), generasi ini sebenarnya mempunyai trauma masa lalu, namun dengan melihat banyak perkembangan dan kemajuan tanah yang dicintainya Papua semakin berkembang, diam-diam mereka pun menikmatinya. Masalahnya adalah ketika ketidakadilan birokrasi dan politik yang dimainkan oleh pejabat Papua, dan semuanya tidak adanya transparansi dan akuntabilitasnya rendah. Inilah bagian–bagian yang menumpuk bara api masyarakat asli Papua. 

Keempat generasi Trikora, adalah bahawa banyak pemuda per hari ini yang juga berjuang untuk menuntut keadilan kepada Negara, karena mereka yang orang tuanya tergabung di dalam Trikora untuk memperjuangkan kemulusan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) dengan tujuan integrasi Papua ke bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia seakan diabaikan oleh pemerintah, sehingga mereka sebenarnya membutuhkan sandaran untuk bersuara. Dengan demikian, harapannya Negara harus hadir disana untuk memberikan mereka kepastian hidup, mereka adalah anak Indonesia yang mencintai Indonesia. 

Kelima yaitu masyarakat Papua mempunyai kerinduan menyaksikan arus perubahan yang positif bagi Papua. Menurut mereka bahwa otonomi khusus adalah harapan baru, jawaban bagi mereka untuk melangsungkan kehidupannya, namun hampir 20 tahun otonomi khusus mengalami konstipasi (sembelit). Pejabat Papua semakin kaya raya dan lupa akan tugas mulai dari pada konsep awal untuk mensejahterakan masyarakat Papua. Akhirnya jangan heran bila mereka (pejabat) tewas di usui muda. 

Keenam adalah yang terakhir adalah salah satu dari sekian banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya konflik di Papua antara lain orang tua yang tergabung sebagai aparatur Negara, pengabdian mereka kepada Negara sangatlah tulus dan mulia, kendati demikian, ketika anak-anaknya tidak lagi diselamatkan oleh kebijakan pemerintah guna menjaga eksistensi keluarga, sebagai satu bentuk pengabdian dan rasa cinta kepada Negara, akhirnya mereka-merekalah seringkali menjadi dayang dalam berbagai pergerakan di Papua.

Tentunya membutuhkan tenaga ekstra untuk menjaga dan memperjuangkan Nasionalisme secara merata, namun, Negara yang kita cintai ini sangatlah luas sehingga konsep nasionalisme yang mengikat secara keseluruhan tetap dipertahankan dan kemudian menggali dan mengangkat martabat manusia Papua melalui nilai-nilai budaya mereka yang mana adalah pilar penting dalam new nasionalisme tersebut. Kemudian sebagai anak muda Papua yang selalu optimis terhadap wajah Papua kedepan, merasa perlu mengajak saudara sekalian untuk menjemput otonomi khusus jilid II dan menyambut hadirnya provinsi Papua Selatan, demi martabat dan nilai-nilai kemanusiaan Papua secara fundamental.

Penulis adalah Marthen Luter Wambarop yang merupakan tokoh intelektual Boven Digoel dan saat ini menjabat sebagai Ketua GMPI Boven Digoel serta Sekretaris Umum SGM-P RI.