Mengurai Tabir Gelap Insiden Sadis Lapas Merauke Yang Tewaskan Dua Orang Anak Marind

Gabriel Ndawi Ndiken,S.H,M.H
Gabriel Ndawi Ndiken,S.H,M.H

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara BAB II tentang Kewajiban dan larangan, Pasal 4 Huruf I, Menyatakan bahwa “ Setiap Narapidana atau Tahanan dilarang membuat atau menyimpan Senjata Api, Senjata Tajam, atau sejenisnya.

Peraturan Menteri tersebut sangatlah jelas dan sudah pasti harus diketahui dan dipatuhi oleh seluruh komponen Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan di seluruh pelosok Negara Republik Indonesia, termasuk Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB dan seluruh Jajarannya yang terkait, dan juga seluruh Narapidana  Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan di seluruh pelosok Negara Republik Indonesia, termasuk seluruh  Narapidana Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Merauke, dan Khususnya Ke-8 orang Narapidana Eksekutor Pembunuhan 2 orang Narapidana asal Suku Marind di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Merauke.

Yang menjadi pertanyaan dalam hal ini adalah:

  • Mengapa bisa ada Senjata Tajam dan beberapa benda lain di dalam Sel Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Merauke yang dapat dipergunakan oleh para Narapidana sebagai senjata dan Alat untuk melakukan Kejahatan bisa Lolos dari Pemeriksaan di Pintu Masuk Utama yang Dijaga Ketat oleh Petugas. Apakah ada Pintu Lain Selain Pintu Masuk Utama?
  • Apakah Pembunuhan tersebut dipicu oleh dendam pribadi dari ke-8 orang Narapidana Eksekutor Pembunuhan 2 orang Narapidana asal suku Marind di Sel Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Merauke. Atau kejadian tersebut hanya dipicu oleh Emosi sesaat, karena persoalan lain yang bukan merupakan suatu Dendam?
  • Apakah Pembunuhan tersebut dilakukan atas dasar Kehendak Sendiri dari ke-8 orang Narapidana Eksekutor  Pembunuhan terhadap 2 orang Narapidana Asal suku Marind tersebut. Ataukah berdasarkan  Kehendak Pihak Lain yang merupakan Dalang/Otak dari Pembunuhan tersebut, dan ke-8 orang Narapidana itu Hanyalah sebagai Eksekutor saja, atau dapat dikatakan sebagai “Mesin Pembunuh”, (Killing Machine)?
  • Apakah ada Penyertaan sebagai “Turut Melakukan” (Medepleger), dan Pembantuan sebagai “Membantu Melakukan” (Medeplichtige) dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Merauke dan Seluruh Jajarannya yang Terkait?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan terjawab setelah pihak yang berwenang, yaitu Tim Investigasi, Penyelidik dan Penyidik Kepolisian Resort Merauke melakukan Penyelidikan dan Penyidikan atas kasus Pembunuhan tersebut.

Oleh karena itu, saya Advokat Gabriel Ndawi Ndickend, S.H.,M.H secara pribadi dan sebagai Praktisi Hukum dan sebagai Penegak Hukum yang berkeadilan dan Kebenaran, Atas Nama Keluarga Korban, dan Atas Nama Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, serta Atas Nama Kehidupan meminta Kepada Kepolisian Resor Merauke untuk Menangani Kasus Pembunuhan tersebut dengan Melakukan Penyelidikan dan Penyidikan Semaksimal mungkin terhadap para Pelaku, para Saksi, dan pihak-pihak yang Patut diduga terkait dan Terlibat dalam kasus Pembunuhan tersebut, mulai dari ke-8 orang Narapidana Eksekutor Pembunuhan tersebut, Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Merauke, beserta Seluruh Jajarannya yang Terkait. 

Keluarga Korban Menuntut Keadilan ditegakkan dan Meminta kepada Penegak Hukum untuk Mengadili dan menjatuhkan Hukuman yang Maksimal kepada para Pelakunya yang setimpal dengan perbuatannya. 

Apalagi pada saat melakukan pembunuhan, ke-8 orang Pelaku pembunuhan tersebut masih berstatus Narapidana dan sedang menjalani hukuman, maka dapat disimpulkan bahwa ke-8 Orang Narapidana Pelaku Pembunuhan tersebut telah melakukan Pengulangan suatu Tindak Pidana, yang mana Tindak Pidana yang dilakukan sebelumnya telah dijatuhi Pidana dan Berkekuatan Hukum Tetap, serta Pengulangan terjadi dalam jangka waktu tertentu. 

Oleh karena itu ke-8 orang Pelaku Pembunuhan tersebut dikategorikan sebagai Pelaku Residivis, dan Sanksi bagi Pelaku Residivis dalam KUHP yaitu menambahkan 1/3 dari Hukuman Pokok yaitu Melakukan Pembunuhan yang termasuk dalam golongan Pasal 487, yaitu Kejahatan terhadap Nyawa, yang pada asalnya 15 Tahun penjara menjadi 20 Tahun penjara. 

Penerapan Sanksi Hukum bagi Pelaku Residivis Tindak Pidana seperti ini di Indonesia memang Beda dengan Sanksi Hukum bagi Pelaku Residivis Tindak Pidana di Eropa dan Amerika yang Sanksi Hukumnya merupakan 100% perhitungan akumulasi yang Utuh, (bukan merupakan sekedar Tambahan).

Jika oleh Penyidik, para Pelaku Pembunuhan tersebut bukan merupakan Pelaku Residivis, maka akan Lahir Yurisprudensi karena adanya peraturan Perundang-undangan yang Tidak Jelas atau masih Kabur, sehingga menyulitkan Hakim dalam membuat Keputusan mengenai sesuatu perkara. Hakim dalam hal ini Membuat suatu Hukum Baru (Judge Made Law), dengan mempelajari Putusan Hakim yang terdahulu untuk mengatasi perkara yang sedang dihadapi. 

Yurisprudensi adalah Keputusan-Keputusan dari Hakim-Hakim Terdahulu untuk menghadapi suatu perkara yang tidak diatur dalam Undang-Undang dan dijadikan sebagai pedoman bagi para hakim yang lain untuk menyelesaikan suatu perkara yang sama.

Kemudian untuk Sanksi bagi pihak-pihak yang Terkait dan yang Terlibat dalam kasus Pembunuhan tersebut yang merupakan Penyerta sebagai “Turut Melakukan” (Medepleger), dan Pembantuan sebagai “Membantu Melakukan” (Medeplichtige), ketentuannya dapat dilihat dalam Pasal 55 (Turut Melakukan), dan Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) (Membantu Melakukan):

Pasal 55 KUHP:

(1) Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana:

1e. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan itu;

2e. Orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan.

(2) Tentang orang-orang yang tersebut dalam sub 2e itu yang boleh dipertanggungjawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang dengan sengaja dibujuk oleh mereka itu, serta dengan akibatnya.

 

Pasal 56 KUHP:

Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan:

  • Barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu;
  • Barangsiapa dengan sengaja memberikan kesempatan, daya upaya, atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia harus Mengetahui:

  • Bahwa di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Merauke Telah Terjadi Pelanggaran Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara;
  • Bahwa Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Merauke beserta Seluruh Jajarannya yang Terkait, yang Bertugas dalam jangka waktu sebelum Terjadinya Peristiwa Pembunuhan sampai dengan Terjadinya Peristiwa Pembunuhan 2 orang Narapidana  asal suku Marind di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Merauke, Telah Tidak Menaati dan Tidak Mematuhi, serta Telah Mengabaikan dan Telah Melanggar Pasal 4 Huruf I,Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara, yang Menyatakan bahwa “ Setiap Narapidana atau Tahanan dilarang membuat atau menyimpan Senjata Api, Senjata Tajam, atau sejenisnya“.

Oleh karena itu, Atas Nama Semua pihak yang telah disebutkan diatas, Meminta Dengan Hormat Kepada Yang Terhormat  Menteri  Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan Yang Mulia Majelis Hakim yang akan Menangani Sidang Kasus Pembunuhan ini agar Menjatuhkan Hukuman yang Tertinggi dan Maksimal kepada Semua Pelaku (Terdakwa nantinya), dan Membebastugaskan (Memecat) Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Merauke beserta Seluruh Jajarannya yang Terkait, yang Bertugas dalam jangka waktu sebelum Terjadinya Peristiwa Pembunuhan sampai dengan Terjadinya Peristiwa Pembunuhan 2 orang Narapidana  asal suku Marind di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Merauke, agar Tidak Menjadi Penyakit, Tidak Menjadi Duri Dalam Daging, dan Tidak Menjadi Preseden Buruk bagi Orang Lain di Kemudian Hari.